Ticker

6/recent/ticker-posts

OM SWASTIASTU

SELAMAT DATANG DI BLOG JULDWIPAESCMART

SKRIPSI KEMAMPUAN MENCERITAKAN KEMBALI SATUA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1              Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi dalam berinteraksi melakukan aktivitas dalam menjalin suatu hubungan. Bahasa memiliki kekuatan pemersatu dan pembeda, di suatu tempat, kita akan merasa akrab dengan pengguna bahasa yang sama, sebaliknya kita juga merasa berbeda jika berada disekitar pengguna bahasa yang berbeda. Terlepas dari hal-hal tersebut, bahasa sebagai media ekspresi sastra memuat pemikiran penulis atau sastrawan, disampaikan kepada pembaca atau penikmat. Secara pragmatis pembaca kemudian memaknainya sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.

Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya. Bahasa Bali  merupakan bahasa ibu bagi sebagian besar masyarakat bali dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai kehidupan masyarakat di Bali. Di samping itu Bahasa Bali juga merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang luas di Bali. Dalam kaitannya dengan politik bahasa nasional, bahasa Bali juga berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah (Bali), (2) lambang identitas bahasa nasional, (3) sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat, (4) pendukung bahasa nasional, (5) bahasa pengantar disekolah dasar pada tingkat permulaan, dan (6) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan Daerah Bali (Halim, 1981:151).

Sejalan dengan itu pemerintah kota Denpasar Bali sudah menetapkan bahasa Bali sebagai pelajaran wajib dalam kurikulum muatan lokal dari SD sampai dengan SMA/SMK. Bahasa Bali sebagai kurikulum muatan lokal di tetapkan melalui SK No. 22/119C/Kep/1.94 oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Bali. Berdasarkan keputusan pemerintah, maka disetiap jenjang pendidikan di Bali, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) wajib memberikan pengajaran bahasa, aksara, dan sastra Bali yang dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal. Dalam kurikulum muatan lokal Bahasa Bali tahun 2004 khususnya untuk SMA/SMK, mencantumkan standar kompetensi pengajaran Bahasa Bali yang meliputi semua aspek kebahasaan dan kesusastraan. Berkaitan dengan penelitian ini , aspek kesusastraan yang dimaksud adalah menceritakan kembali suatu cerita secara lisan.

Keterampilan menceritakan kembali suatu isi cerita merupakan salah satu dari beberapa keterampilan mengapresiasikan bahasa yang memungkinkan pencerita terbawa dalam suasana dan gerak hati dalam karya sastra tersebut. Untuk itu seorang siswa perlu dituntut melakukan banyak latihan dan banyak membaca agar mampu meningkatkan apresiasi tentang sastra tersebut. Dimana siswa belajar bahasa pada dasarnya didahului dengan proses mendengar/menyimak, membaca, menulis dan berbicara kemudian berlanjut kepada pemahaman tentang apa yang telah didengar/disimak, ataupun yang dibaca.

Setelah terjadi suatu pemahaman baik dari yang disimak ataupun dibaca maka ketrampilan menceritakan kembali tentang apa yang didengar ataupun yang dibaca merupakan faktor penting bagi keberhasilan siswa dalam belajar memahami suatu cerita atau wacana. Siswa akan mampu menceritakan suatu cerita yang telah dibaca sesuai pemahamannya tentang keseluruhan isi atau unsur cerita tersebut. Ditinjau dari unsur-unsur yang membangunnya , maka cerita itu dibangun oleh dua unsur yaitu: unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur batin suatu karya sastra yang terdapat di dalam karya sastra yang membangun keberadaan karya itu, dalam hal ini adalah cerita. Unsur-unsur tersebut yaitu tema, amanat, alur, penokohan, sudut pandang, dan setting atau latar. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur pembangun yang ada diluar cerpen yang meliputi: latar belakang, proses kreatif pengarang, lingkungan sosial budaya pengarang dan sebagainya.

Menceritakan kembali suatu cerita juga merupakan faktor penting bagi keberhasilan siswa  dalam meningkatkan pemahaman tentang padanan kosa kata yang mungkin jarang digunakan dalam kehidupan kesehariannya. Para penutur atau pencerita biasanya memodifikasi teknik penyampaiannya agar mudah dipahami, lebih indah dan lebih khas. Dari segi interaksinya juga terdapat perbedaan derngan sastra tulis, dalam proses penikmatan sastra secara lisan, penuturnya memiliki ciri khas cerita yang unik, roman wajah yang agak tegang ketika ceritanya sampai pada klimaks, gerakan tangan dan intonasi turut menuntun perasaan dan pemikiran penikmat atau pendengar.

Pengaruh cerita sebagai kisah misteri ditonjolkan dengan pilihan leksikal yang dibuat oleh pencerita, yang menggunakan istilah-istilah yang secara sistematis berkaitan. Misalnya, nomina yang sering digunakan, yang ternyata penting bagi pendengar, mengacu pada lingkungan fisik cerita itu. Disinilah seorang siswa/pencerita harus bisa menghayati atau memahami betul isi cerita sehingga bahasa yang dugunakan menjalin suatu cerita secara lisan mampu menarik simpati pendengar.

Pada kesempatan ini penulis akan meneliti dengan menggunakan objek satua Bali yang berjudul  I Belog Mantu”. Pemilihan satua ini sangat penting bagi penulis. Bila kita menyimak satua Bali tersebut sesungguhnya bukan saja merupakan satu hasil karya sastra yang tinggi, akan tetapi lebih dari pada itu dengan satua Bali akan menjadi sumber filsafat hidup yang tidak habis-habisnya, ia juga akan menjadi pedoman hidup dalam membina kehidupan masyarakat Bali khususnya bagi anak-anak dan generasi muda tentang pemahaman nilai-nilai agama, etika, estetika dan juga dapat menjadi tuntunan hidup dalam pembentukan karakter pribadi serta budi pekerti. Dengan kehadiran satua-satua Bali ini nantinya diharapkan dapat memberikan hasil nyata terhadap perkembangan satua Bali dan dijadikan suatu bahan untuk menggalakkan  masatua Bali baik dikalangan masyarakat maupun disekolah-sekolah. Sehingga akan dapat pula membangkitkan minat siswa dan generasi muda untuk lebih mengenal sekaligus mencintai budaya masatua Bali.

Secara operasional menceritakan kembali satua merupakan keterampilan berbicara/bercerita yang menduduki posisi terpenting dalam tataran pemerolehan bahasa khususnya dalam berkomunikasi secara lisan. Oleh karena itu penguasaan keterampilan berbicara dengan berbagai bentuknya menjadi suatu yang penting untuk dikuasai, terutama bagi siswa dalam pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Purwo dalam Kursus (2008:2) yang menyatakan bahwa dalam tujuan pembelajaran berbicara, siswa dituntut untuk trampil berbicara seperti mengajukan pertayaan atau pendapat, berpidato serta menceritakan kembali cerita secara lisan.

Berkaitan dengan hal tersebut penulis terdorong untuk mengambil judul penelitian yang berkaitan dengan keterampilan berbicara yaitu kemampuan menceritakan kembali satuaI Belog Mant” siswa Kelas XI SMA Negri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011”.

 

1.2              Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini, yaitu:

  1. Bagaimanakah kemampuan menceritakan kembali satuaI Belog Mantu” oleh siswa   Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011?”
  2. Kesulitan-kesulitan apakah yang dialami dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu”  oleh siswa   Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011?”

 

1.3              Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011” dapat dibagi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1        Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pikiran kepada dunia pendidikan di tingkat SMA dalam bidang pengajaran bahasa daerah Bali khususnya dalam pengajaran dalam keterampilan berbicara.

1.3.2        Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data dan informasi untuk mengetahui:

1. Kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” oleh siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.

2.   Kesulitan-kesulitan yang dialami dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu  oleh siswa   Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.

 

1.4              Manfaat Penelitian

Adapaun manfaat yang diharapkan dari penelitian yang berjudul kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”  oleh siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011” yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1        Manfaat Teoretis

1.    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kependidikan,  literatur, dan ikut serta mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengajaran bahasa daerah Bali pada khususnya.

2.    Sebagai informasi yang dapat digali dalam penelitian ini hendaknya dapat memperkuat dasar-dasar pengajaran kesusastraan Bali  di sekolah atas bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

3.    Menambah kasanah kesusastraan daerah dan memperkaya khasanah kesusastraan nasional.

1.4.2        Manfaat Praktis

1.    Bagi Siswa

       Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa khususnya dari segi aspek berbicara.

2.    Bagi Guru

       Melalui penelitian ini di harapkan dapat memberi masukan atau sebagai umpan balik  terhadap siswa dalam menerapkan metode pengajaran yang tepat.

3.    Bagi Penyusun Bahan Ajar

       Hasil penelitian ini di harapkan  bagi penyusun bahan ajar akan mampu menambah dan mengembangkan bahan ajar di dalam proses belajar mengajar khususnya dalam pelajaran bahasa Bali.

4.    Bagi Pengembang Kurikulum

Dapat dijadikan pedoman dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya dan pelajaran  berbicara bidang studi bahasa Bali khususnya.

 

 

1.5              Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memberikan arah  pembahasan dalam penelitian ini dipandang perlu diberikan kejelasan ruang lingkup penelitian. Mengingat dengan ruang lingkup bahasa Bali yang begitu luas dan keterbatasan kemampuan penulis maka penulis hanya meneliti untuk mengetahui kemampuan menceritakan kembali satua I Belog Mantu” siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  tahun pelajaran 2010/2011” serta untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu  siswa   kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011, yang meliputi: (1) Ucapan, (2)  Tekanan , (3) Intonasi, dan (4)  Kelancaran.

 

1.6              Asumsi           

Asumsi adalah suatu kebenarannya diterima tanpa adanya pembuktian. Sebagaimana pendapat para ahli mengatakan bahwa : ”Suatu yang diasumsikan adalah suatu yang tidak diselidiki” (Rindjin, 1980: 19). Sedangkan The Liang Gie mengatakan bahwa : ”Asumsi adalah keterangan-keterangan yang kebenarannya diterima tanpa pembuktian lebih lanjut untuk dasar awal atau pegangan dalam suatu perbincangan” (The Liang Gie, 1980 : 27).

Sebagai landasan berpijak dalam hal penelitian, maka peneliti menggunakan asumsi sebagai berikut:

1.        Materi pembelajaran bercerita sudah sesuai dengan kurikulum bahasa Bali yang berlaku.

2.        Guru sebagai pengajar mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membuat perencanaan, untuk melaksanakan dan untuk menilai serta memberikan pertimbangan atas tingkat keberhasilan pembelajaran tersebut khususnya dalam meningkatkan mutu berbicara siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.

3.        Perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh dalam penelitian.

4.        Guru yang mengajar kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 sudah memiliki kewenangan mengajar.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

 

2.1       Kajian Pustaka

            Secara umum kajian pustaka memuat beberapa bahan pustaka baik berupa buku; majalah; makalah; dan laporan penelitian yang memuat kajian-kajian tentang kajian penelitian yang relevan isinya dengan penelitian yang baru di buat. Dengan melihat pustaka sebelumnya penulis dapat memaparkan persamaan dan perbedaan atas penelitian yang dilakukan. Dalam kajian pustaka ini akan dikemukakan beberapa penelitian sebatas yang berkaitan dengan kemampuan menceritakan satua ”I Belog Mantu”, yaitu:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Sundariati (2009), dengan judul  yaitu kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Rijal” siswa Kelas VII Madrasah Tsanawiah (MD) Miftatul Ulum Denpasar tahun pelajaran 2008/2009. Penenelitiannya mengkaji tentang dongeng ”Rijal”, dimana ceritanya berbahasa Indonesia dan bukan cerita berbahasa Bali serta penelitiannya itu menggunakan tes tulis.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Leksi Swadari, dengan judul kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Panji Semirang”  siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar tahun pelajaran 2008/2009. Di dalam skripsi itu dipaparkan tentang cerita berbahasa Indonesia untuk tingkat SD bukan cerita berbahasa Bali untuk tingkat  SMA, dan  penelitiannya juga dilakukan dengan tes tulis.

Dari kedua penelitian di atas tampak jelas ada perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Perbedaannya tampak pada subjek maupun objek penelitian, yang mana peneliti pertama melakukan penelitian terhadap siswa  madrasah dan peneliti kedua di SD. Objek penelitian dari peneliti pertama adalah kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Rijal”, peneliti kedua tentang   kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Panji Semirang”. Kedua skripsi di atas instrumennya menggunakan tes tulis. Sementara penelitian ini  mengambil penelitian di SMA dengan objek penelitian kemampuan menceritakan kembali satuaI Belog Mantu” serta instrumennya adalah berupa tes tindakan. Sedangkan Persamaan kedua skripsi di atas  dengan penelitian ini sangatlah jelas yaitu sama-sama mengukur kemampuan siswa tentang pemahaman cerita.

            Berdasarkan perbedaan dan persamaan yang di paparkan di atas, jelaslah bahwa penelitian ini bukan merupakan plagiat atau hasil jiplakan.

 

2.2       Landasan Teori

            Dalam setiap penelitian memerlukan suatu landasan teori, yaitu untuk mempelajari dan memahami fakta-fakta tertulis baik berupa buku, surat kabar, majalah, dan bulletin. Landasan teori merupakan seperangkat proposisi yang berhubungan secara logis dan sistematis, yang menggambarkan dan menjelaskan seperangkat gejala-gejala empiris, dimana landasan teori dalam hal ini digunakan untuk mendukung proses penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian menceritakan satuaI Belog Mantu”.

Sehubungan dengan penulisan karya tulis ini menggunakan beberapa landasan teori untuk mempermudah dalam mengkaji suatu masalah. Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

 

2.2.1    Apresiasi Sastra

Sudjiman (1981:8) menyebutkan bahwa “Apresiasi adalah penghargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan pada pemahaman”. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang yang mengalami (dari hasil sastra itu) pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya. Hal ini dapat terjadi oleh adanya daya simpati yang memungkinkan pembaca terbawa dalam suasana dan gerak hati dalam karya sastra itu. Jika dalam mengapresiasi sastra, kita mengenali nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dalam kegairahan simpati maka kita akan dapat merasakan kenikmatannya. Secara leksikal, istilah appreciation ‘apresiasi’ mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian.

Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi dalam Aminuddin 2000:35). Kegiatan mengapresiasi sastra mempunyai manfaat yang lebih tinggi daripada hanya sekadar memahami. Kegiatan mengapresiasi bukan saja untuk menambah pengetahuan pembaca, melainkan sekaligus untuk memperpeka perasaan pembaca. Untuk mengapresiasi karya sastra yang sebenar-benarnya, pembaca harus mengerahkan seluruh daya yang ada pada dirinya, baik daya pikir maupun daya sentuh perasaan. Keterlibatan pembaca untuk meleburkan diri dalam jalinan cerita yang ada dalam karya sastra menjadikan apa yang dilukiskan oleh pengarang seolah-olah menjadi milik pembaca. Berdasarkan pendapat di atas, jelas bahwa mengapresiasi karya sastra merupakan bentuk kegiatan menikmati dan memahami karya sastra secara mendalam terhadap gagasan-gagasan yang disampaikan pengarang lewat karya sastranya dengan tujuan untuk menumbuhkan kepekaan kritis dan penghargaan pembaca terhadap karya sastra itu sendiri.

Kegiatan apresiasi sastra sebagai suatu proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, (3) aspek evaluatif (Squire dan Taba dalam Aminuddin, 2000:34). Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam usaha memahami unsur-unsur sastra yang bersifat objektif. Unsur dalam karya sastra yang bersifat objektif disebut dengan unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks sastra yang secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca sehingga dapat memungkinkan pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat sesuai dengan hakikatnya. Hakikat sastra adalah karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan (Wellek dan Warren dalam Sayuti, 2000:6). Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik, buruk, indah, tidak indah, sesuai atau tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal dimiliki oleh pembaca (Aminuddin, 2000:35). Dalam kegiatan apresiasi karya sastra yang dilakukan dengan sungguh sungguh, akan diperoleh kenikmatan.

Dengan menikmati karya sastra, kita akan memperoleh kepuasan karena kita dapat menikmati sesuatu yang bernilai dalam karya sastra yang kita baca. Untuk dapat menikmati karya sastra dengan sebenar-benarnya, terlebih dahulu kita mamahami keadaan apresiasi itu sendiri. Keadaan apresiasi pada kenyataannya bertingkat-tingkat, Baribin (1990:15-16) mengemukakan tingkat-tingkat apresiasi sastra, yaitu:

a). Apresiasi tingkat pertama terjadi bila seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya sastra. Ia terlibat secara intelektual, emosional, dan imajinatif dengan karya sastra itu.

b). Apresiasi tingkat kedua terjadi bila daya intelektual pembaca bekerja lebih giat. Pada tingkat ini pembaca mulai bertanya pada dirinya sendiri tentang makna pengalaman yang didapatnya dari karya sastra itu.

c). Pada tingkat selanjutnya pembaca menyadari bahwa suatu karya sastra adalah gejala yang bersifat historis. Karya sastra diciptakan tidak lepas dari faktor tempat dan waktu bahkan merupakan ungkapan dari jalinan pengaruh faktor itu berlaku terhadap jiwa dan kepribadian sastrawan.

Berdasarkan tingkat-tingkat apresiasi di atas, Baribin mendefinisikan apresiasi sastra sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sadar, dan bertujuan untuk mengenal dan memahami dengan tepat nilai sastra, untuk menumbuhkan kegairahan kepadanya dan memperoleh kenikmatan daripadanya (1990:16). Kegiatan apresiasi sastra dilakukan untuk memberikan bekal pengalaman berkenaan dengan sastra. Pengalaman dengan sastra itu menimbulkan perubahan dan penguatan tingkah laku. Jadi, kegiatan apresiasi akan memberikan pengalaman belajar apresiasi yang hasilnya terdapat perubahan atau penguatan tingkah laku terhadap nilai yang terkandung dalam karya sastra.

Aminuddin (2000:38) mengatakan bahwa untuk mengapresiasi cipta sastra, pembaca pada dasarnya dipersyaratkan memiliki bekal awal yaitu (1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra, (2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa apresiasi sastra berupa prosa atau cerita adalah usaha atau kegiatan mengenal karya sastra berbentuk prosa atau cerita, dengan sungguh-sungguh dengan cara memahami isi cerita sehingga kita dapat menikmatinya. Berkaitan dengan apresiasi sastra tersebut cerita ”I Belog Mantu” merupakan salah satu apresiasi sastra yang merupakan karya sastrawan Bali yang mengungkap suatu cerita yang menarik dengan cerita yang berbaur dengan kritik etika dan lelucon.

 

2.2.1.1 Manfaat Apresiasi Sastra

            Menurut Aminudin (1987: 62), menyatakan bahwa manfaat apresiasi sastra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) manfaat secara umum, dan (2) manfaat secara khusus. Secra umum manfaat apresiasi sastra adalah untuk dapat mengisi diri dalam keadaan waktu luang, sehingga mampu mengurangi rasa jemu serta secara rohani dan batiniah akan  dapat merubah sikap/prilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sementara secara khusus apresiasi sastra bermanfaat: (a) menambah pengetahuan pembaca tentang kosa kata, (b) dengan membaca karya sastra yang baik sangat berguna untuk pembentukan, kepribadian/moral siswa, (c) memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan, (d) memperdalam wawasan atau pandangan kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun nilai kehidupan manusia itu sendiri.

 

2.2.1.2 Tahapan-Tahapan Apresiasi Sastra

            Pelaksanaan apresiasi sastra bisa berlangsung dengan baik serta mendapatkan hasil  yang optimal bila kegiatan itu dilaksanakan secara bertahap dan terpadu. Berkaitan dengan itu apresiasi dapat dibagi menjadi lima tahapan, diantaranya:

a.   Tahap Penikmatan

Tahapan penikmatan tentang apresiasi sastra menurut Suroto (1993:197) menyatakan, seseorang baru dapat melakukan tindakan membaca, melihat, menonton/mendangarkan suatu karya seni/sastra. Hal tersebut tidak jauh beda dengan pendapat yang dikemukakan Natawijaya (1980: 2) yang menyatakan, bahwa seseorang hanya bersifat seperti penonton yaitu merasakan kesenangan. Dimana rasa senang itu muncul dalam diri seseorang karena penikmatan tersebut.

Kedua pendapat di atas tentang penikmatan karya sastra,  dapat dilihat persamaannya yaitu sama-sama seperti penonton. Jika demikian, seseorang yang tergolong berada pada tahap penikmatanhanya dapat merasakan senang dan tidak senang. Dalam hal ini seseorang belum dapat memahami sepenuhya karya sastra tersebut. Sebagai contoh, jika menonton suatu film yang bahasanya tidak kita pahami, tetapi kita menyukai aktor film tersebut maka kita hanya bisa merasakan senang saja.

b.  Tahap Penghargaan

            Seseorang dalam tahapan  ini melakukan tidakan dengan melihat kebaikan, manfaat atau nilai karya seni/satra itu. Sangat dimungkinkan sesudah membaca atau mendengar karya sastra, penikmat merasakan adanya manfaat seperti rasa senang, memberikan hiburan, kepuasan, ataupun mampu memperluas pandangan dan wawasan hidupnya (Suroto, 1993:158).

            Antara (1985:10) menyatakan” Pada tahapan pengargaan ini siswa diajak untuk setengah aktif yaitu bagaimana menimbulkan rasa kekaguman dan rasa senang. Pemberian rasa pujian, kekaguman dan puasnya kepada karya sastra sempurna, bernilai, bermanfaat, dan telah merasuk dalam diri siswa. Kadang-kadang pada siswa timbul rasa ingin memiliki atau mempunyai dan menguasai karya sastra tersebut”.

Berdasarkan dari kedua pendapat di atas, dapat dikatakan pada tahapan pengargaan ini seseorang tidak lagi terbatas pada perasaan senang atau tidak senang, tetapi sudah mulai bertindak untuk memperoleh kebaikan, manfaat atau nilai karya sastra tersebut. Manfaat itu dapat berupa perasaan senang, memberi hiburan, kepuasan, atau memperluas pandangan /wawasan hidup.

 

c.   Tahapan Pemahaman

Pada tahapan pemahaman, menutut Suroto (1993:158) penikmat melakukan tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya, serta berusaha menyimpulkannya. Disini penikmat sudah mulai aktif meneliti dan menganalisis setiap komponen yang membentuk karya tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, sekedar sebagai hiburan atau lebih dari itu.

Berdasarkan  pemahaman terhadap karya sastra itu,  si penikmat betul-betul selektif meneliti unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik suatu karya sastra sehingga ia mampu memahami dan mengerti akan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.

d.   Tahap Penghayatan

            Tahapan penghayatan merupakan tahapan pembaca menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penapsiran dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya. Penikmat berusaha menjelaskan dengan sejelas-jelasnya hasil analisis tersebut, mengapa alur dan unsur-unsur yang lain demikian. Alasan-alasan yang dikemukakan tentu disertai bukti agar argumen yang dikemukakannya dapat diterima secara akal sehat (Suroto, 1993:158).

            Sementara Antara (1985:10) mengatakan, bahwa timbulnya rasa pemahaman terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik menimbulkan kemampuan menghayati dari aspek yang terkecil dari karya sastra tersebut misalnya: tema, bentuk, otograpi, mengkritik, dan membandingkan dengan lainnya.

            Sesuai dengan pendapat di atas, pada tahapan ini penikmat mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinyna, membuat penapsiran, menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya, menyakini apa dan bagaimana hakekat karya sastra itu.

e.   Tahap Implikasi atau Penerapan.

            Menurut Natawijaya ( 1979:3), tahapan ini bersifat memperoleh daya yang tepat guna, bagaimana dan untuk apa karya sastra diarahkan kepada suatu manfaat praktis, sesuai dengan tingkat penghayatan terhadap suatu cipta sastra. Pada tahapan ini diperoleh maksud untuk membuka pandangan sehingga melahirkan hal-hal yang baru.

            Melalalui penghayatan tersebut, pada tahapan implikasi akan timbul kesadaran tentang kebenaran yang diungkapkan oleh sastrawan pada karya sastranya, kemudian menimbulkan ide-ide baru untuk mengasilkan sebuah kreativitas berupa penguasaan cipta sastra sehingga melahirkan  suatu yang baru. Karya sastra tersebut akan diarahkan untuk manfaat praktis berupa kepentingan sosial, politik dan budaya yang tepat guna.

Jika dilihat berdasarkan tahapan-tahapan apresiasi di atas, maka penelitian ini jelas termasuk dalam tahap Implikasi atau penerapan. Dalam hal ini siswa diminta menceritakan kembali suatu cerita yang telah dibaca, dimana siswa setelah membaca cerita ditutut bisa mengungkap cerita melalui menceritakannya kembali. Tentunya si pencerita tersebut menggunakan pemahaman, penghayatan dan penguasaan cerita sehingga tidak diragukan lagi, siswa akan mampu meceritakan cerita itu dengan menggunakan bahasanya sendiri.

 

2.2.2        Satua (Cerita)

2.2.2.1  Pengertian satua

Kata “satua” mengandung arti ”cerita” (Dinas Pendidikan Dasar Provensi Dati I Bali, 1990:616). Satua merupakan bagian dari prosa Bali tradisional yang disampaikan secara oral. Prosa Bali tradisioanal umumnya di kembangkan secara lisan dan tidak memiliki pengarang (anonim). Satua merupakan sastra bali Purwa yang di sampaikan secara oral dalam bahasa Balinya disebut dengan istilah “pegantian” dalam bentuk prosa (bagus,1997:2). Orang tua-tua di bali menggunakan satua sebagai media pendidikan terhadap keturunannya. Walaupun pendidikan yang dimaksud adalah non formal. Karya sastra ini diwariskan melalui oral secara turun-temurun. Dalam penyampaiannya dicirikan dengan kalimat awal seperti “ada reke satua” (ada konon cerita); ‘ada tutur katuturan satua” (ada petuah cerita). Berdasarkan proses penyampaiannya itu, satua ini mempunyai gaya khusus atau gaya bertutur cerita.

 

2.2.2.2  Unsur-Unsur yang Membangun Satua

Karya sastra cerita (satua) mengandung unsur-unsur karya sastra layaknya sastra modern. Secara garis besar satua juga dibangun dengan dua unsur penting, yaitu unsur interinsik dan unsur ekstrinsik.

 

 

1.                  Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik yang membangun cerita (satua) antara lain: (a) tema; (b) insiden; (c) alur; (d) seting/latar; (e) tokoh/karakter; dan (f) amanat (Tarigan, 1994:1276).

a.   Tema.

Tema merupakan gagasan, ide, pikiran utama atau pokok pembicaraan dalam  karya sastra (Zaidan dkk, 2004: 203-204). Dengan kata lain tema adalah ide sebuah cerita yang disampaikan pengarang kepada penikmatnya melalui karya sastranya. Ide tersebut dapat berupa masalah kehidupan tentang kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini.

b.   Insiden

Insiden adalah suatu kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam cerita, besar atau kecil. Secara keseluruhan insiden ini menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur cerita (satua) (Sukada, 1987:57).

c.   Alur

Alur atau flot adalah struktur gerak dalam cerita, atau rangkaian kejadian dalam cerita (satua) yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Antara, 1988: 270).

d.   Penokohan/Karakter

Kamus Besar Indonesia memuat penokohan merupakan proses, cara pembuatan penokohan atau penciptaan citra tokoh dalam karya sastra (Depdiknas, 2005:1203). Sejalan dengan itu Esten (1984: 40) menyatakan bahwa penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh tersebut dalam sebuah cerita. Dari pendapat di atas dapat dikatakan penokohan/karakter adalah penekanan pada unsur perwatakan/karakter tokoh dalam cerita (satua) yang menonjol dan dominan yang disebabkan oleh perkembangan ilmu fisikologi atau Ilmu Jiwa. Mutu sebuah cerita (satua) banyak ditentukan oleh kepandaian sipengarang menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Setiap tokoh mempunyai kepribadian sendiri, tergantung si-pengarang pada massa lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, tempatnnya ia menetap dan pengalaman hidupnya.

e.   Latar

      Latar merupakan tempat, masa, dan lingkungan terjadinya cerita (satua). Lingkungan yang dimagsud adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, latar belakang alam (Sumardjo: 1983: 50).

f.    Amanat

Amanat adalah pesan atau gagasan yang mendasar dituangkan, dipaparkan pengarang dalam karyanya untuk menyelesaikan atau memecahkan peristiwa yang terjadi. Dalam Kamus Istilah Sastra karya panuti Sudjiman (1986:5) amanat diberi pengertian gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.

 

2.       Unsur Ekstrinsik

            Unsur ekstrinsik merupakan unsur luar karya sastra yang turut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tiap bentuk karya sastra sama sebab mencakup beberapa aspek kehidupan sosial yang melatar belakangi penyampain tema. Faktor-faktor yang termasuk unsur ekstrinsik yang terdapat pada cerita (satua) yaitu:

a.   Faktor Agama.

Faktor Agama sangat mempengaruhi pandangan hidup seorang pengarang dalam melakukan pemecahan masalah. Oleh sebab itu pengarang dalam membuat karya sastra yang bernafaskan Agama, haruslah mempunyai pengatahuan yang cukup tentang ajaran-ajaran Agama yang dianutnya.

b.   Faktor historis.

            Pembuatan karya sastra seorang pengarang harus dapat menggambarkan faktor yang menunjukkan kapan terjadinya suatu peristiwa,dimana terjadinya, siapa pelakunya, dan bagaimana suasana atau terjadinya kisah tersebut.

c.   Faktor Sosial Budaya.

            Selaku pengarang karya sastra, seorang pengarang harus mengetahui budaya yang terdapat dalam masyarakat, seluk-beluk dan juga keunikan-keunikan yang dimiliki oleh masyarakat.

d.   Faktor Psikologis

            Seorang pengarang harus memiliki pengetahuan ilmu jiwa. Dengan ilmu yang cukup pengarang mampu membuat sebuah karya sastra dengan menampilkan perwatakan dan menggambarkan tingkah laku yang cocok dengan gerak jiwa serta batin pengarang.

 

2.2.2.3  Jenis-Jenis Satua

            Menurut Jelantik (1006: 103) prosa (gancaran) adalah karya sastra yang tidak di ikat oleh banyaknya baris  (larik), tidak di ikat oleh banyaknya suku kata dalam satu larik, tidak di ikat oleh labuh suara. Prosa Bali memuat inti cerita yang diceritakan kepada pendengar atau pembaca.

               Prosa bali di bagi menjadi dua jenis, yaitu prosa Bali baru dan prosa Bali tradisional. Sehubungan dengan itu adapun jenis-jenis prosa Bali tradisional yang termasuk ke-dalam satua, diantaranya: (1) dongeng; (2) hikayat; (3) wiracarita; dan (4) mitos.

1. Dongeng

 Dongeng merupakan suatu cerita (satua) yang isi dan jalan ceritanya bermacam-macam, umumnya tidak jelas pengarangnya atau anonim. Semantara isi dan tokoh pelakunya dapat di bagi menjadi lima, antaralain:

1)  Dongeng binatang, misalnya:

a.      sang Lutung têkén Sang Kekua.

b.      Kidang têkén Cecek, dan lain sebagainya.

2) Dongeng binatang dengan manusia, misalnya;

a. Crukcuk Kuning,

b. Siap selem, dan lain sebagainya.

3) Dongeng manusia dengan manusia, misalnya;

a.       I Dempuawang,

c.       Pan Baling Tamak,

d.      I belog Mantu, dan lain sebagainya.

4) Dongeng Dewa, Batara dengan Manusia, misalnya;

a.          I Lengar,

b.      I Bagus Diarsa, dan lain sebagainya.

5) Dongeng manusia dengan raksasa, misalnya;

a. I tuwung Kuning,

b. I Bawang  têkén I Kasuna, dan lain sebagainya.

2. Hikayat (Babad)

 Hikayat (babad) menceritakan tokoh yang ditinggal di istana (puri) mempunyai suatu kekuatan (kesaktian) disertai cerita peperangan, keadaan satria dan lain sebagainya. Misalnya: Babad Buleleng; Babad Blahbatuh; Babad Dalam; Babad Menguwi; Babad Pasek; dan lain sebagainya.

a.            Wiracarita (Epos)

Wiracarita menceritakan tentang kepahlawanan, peperangan, kesaktian, seperti; Bratayuda; Ramayana; dan lain sebagainya.

b.            Mitos (Cerita Dewa-Dewa)

Mitos merupakan cerita (satua) yang mencritakan tentang Dewa-Dewa, Bhatara dan Bhatari, seperti: Prabu Watugunung; Sudamala; dan lain sebagainya.

Dari ke-empat jenis-jenis prosa Bali tradisional yang tergolong dalam cerita diatas yang termasuk kedalam penelitian Penulis mengenai kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” yang di pakai sebagai interumen merupakan  jenis cerita dongeng, cerita manusia dengan manusia. Cerita/dongeng ”I Belog Mantu” merupakan cerita lucu, dan menarik sekali untuk disimak, dimana di sana mengisahkan seorang pemuda yang bernama ”I Belog” yang berupaya mendapatkan seorang perempuan yang bernama ”I Luh Sari” dengan segala tipu daya dan celotehannya sampai mendapatkan Luh Sari sebagai istrinya.

Satua ”I Belog Mantu” merupakan suatu salah satu media pendidikan untuk dapat merubah sikap mental dan tingkah laku yang buruk menjadi sikap mental dan tingkah laku yang baik. Sehingga satua ”I Belog Mantu” dapat menjadi cermin dalam kehidupan sehari-hari menuju arah kemajuan dalam bidang material maupun spiritual. Bertitik tolak dari tujuan tersebut di atas, maka terlihat adanya usaha pembinaan dan pengembangan akal serta budi pekerti siswa, tentang pembinaan  sikap atau tingkah laku anak dan tentang rasa percaya diri. Sikap mental seperti itu tercermin bila seseorang mampu membina akalnya dan mampu mengendalikan akalnya sendiri. Pembinaan akal ini sangat perlu dilakukan, terutama terhadap siswa-siswa yang masih dalam perkembangan jasmani dan rohani dalam penentuan arah pikirannya untuk pembangunan karekter siswa itu..

Untuk itu kegiatan proses belajar mengajar disekolah yang dilakukan oleh para guru dapat menggunakan cerita rakyat atau satua Bali sebagai sarana untuk menanamkan pendidikan budi pekerti kepada siswa. Selain itu satua Bali yang memberikan kesan tradisional masih berperan penting dalam meningkatkan apresiasi belajar siswa melalui penuangan bahasa, imajinasi dan daya nalar siswa itu sendiri. Satua ini disampaikan secara oral, yang memiliki gaya tersendiri yang disebut dengan ” gaya tutur”. Dimana gaya tutur biasanya mencerminkan karakter atau sikap dari siswa itu sendiri.

 

2.2.3        Retorika (Tutur dan Bertutur)

 Retorika dulunya  dikenal sebagai Ilmu bicara. Retorika disini berarti seni untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Art bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik dan dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya dituntut berbicara lancar, namun lebih pada kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, padat, jelas dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat.

Dalam pemaknaannya, retorika diambil dari bahasa Inggris rhetoric bersumber dari perkataan latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Sedangkan Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren dalam bukunya Modern Rhetoric mendefenisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif. Hampir senada dengan hal tersebut Aristoteles mengartikan retorika sebagai The art of persuasion. Perspektif retorika tentang komunikasi antar personal menyatakan bahwa konsep dan prinsip tradisonal retorika untuk mempengaruhi masyarakat, sama baiknya diterapkan pada komunikasi yang akrab dan antar personal. Substansi retorika bertujuan fungsional. Menurut Harold Barrett (1996) bahwa pemakai retorika berusaha agar efektif, untuk mendapatkan jawaban, menjadi orang, dikenali, didengarkan, dimengerti dan diterima. Tujuan interaksi retoris merupakan dasar bersama tempat menjalin hubungan secara sukses. Orang-orang dalam komunikasi antar personal, (masih menurut Barret) harus berusaha keras supaya efektif dan etis, setiap saat menunjukkan penghargaan terhadap keberadaan orang lain, penghargaan terhadap nilai intrinsik mereka sebagai manusia.

Secara substansial terdapat beberapa faktor situasional yang mempengaruhi proses komunikasi dan persepsi seseorang dalam interaksi antar personalnya yaitu pertama, deskripsi verbal adalah penggambaran secara langsung tentang seseorang. Ketika seseorang menceritakan bahwa “wanita itu tinggi, putih, cerdas, rajin, lincah dan kritis” maka sudah terbayang bahwa wanita itu cantik, bahagia, humoris dan pandai bergaul (pada saat membayangkan maka deskripsi verbal telah berlangsung).

Kedua, Proksemik yaitu studi tentang penggunaan jarak dalam penyampaian pesan. “ Ketika saudara menghadap seorang pejabat lalu ia mempersilakan saudara duduk pada kursi yang tersedia sementara ia duduk jauh dari saudara bahkan dihalangi oleh meja lebar maka saudara mempersepsikan bahwa pejabat tersebut sebagai orang yang tidak begitu terbuka sehingga saudara lebih berhati-hati berbicara dengannnya.

Ketiga, kinesik adalah ekspresi sikap dan gerak tubuh seseorang. Untuk memperjelas tentang kinesik, maka silakan pembaca jawab pertanyaan, bagaimana pendapat dan penilaian saudara ketika seseorang berbicara terpatah-patah, kedua telapak tangannya saling meremas dan diletakkan di atas kedua paha yang dirapatkan? (Jawaban pembaca merupakan persepsi yang didasarkan atas kinesik).

Keempat, paralinguistik yaitu cara bagaimana seseorang mengucapkan lambang-lambang verbal, meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara dan proses bagaimana menyampaikan pesan. Tempo bicara yang lambat, ragu-ragu, dan tersendat-sendat akan dipahami sebagai ungkapan rendah diri atau “kebodohan”.

Kelima, artifaktual yaitu meliputi segala macam penampilan mulai dari potongan rambut, kosmetik yang dipakai, baju, tas, kendaraan dan atribut-atribut lainnya. Persepsi bahwa seseorang kaya karena ia mengendari mobil mewah, potongan rambut yang rapi, menggunakan jas dan berbagai atribut parlengkapan lainnya (padahal tahukah saudara bahwa ia hanya seorang supir!).

Semua orang merindukan bisa menjelaskan sesuatu dengan baik, namun tidak semua bisa melakukannya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dipelajari, keterbatasan kesungguhan untuk melatih diri, dan keterbatasan dari kegigihan serta semangat. Itulah hal yang terkadang membuat kualitas dalam penyampaian sesuatu tidak meningkat.

Kemampuan menyampaikan ide hampir sama pentingnya dengan ide itu sendiri. Artinya sebuah ide yang baik, menarik dan penting ternyata akan kurang bermakna jika disampaikan oleh seseorang yang kemampuan komunikasinya terbatas. Sebaliknya, ide yang sederhana bahkan kurang penting akan terkesan luar biasa jika disampaikan dengan teknik komunikasi yang baik. Peningkatan penyajian informasi dalam dialektika retoris-etis antar personal dapat dilakukan melalui pemaparan fakta yaitu pernyataan yang menunjukkan bahwa sesuatu itu benar. Ada tiga kriteria yang dijadikan tolak ukur yaitu pertama relevancy adalah fakta yang diungkapkan bermanfat atau relevan dengan kepentingan pembicara dan pendengar. Kedua, Sufficiency yaitu fakta dapat mendukung gagasan utama dalam pembicaraan. Ketiga atau yang terakhir adalah Plausibility yaitu sumber-sumber fakta harus dapat dipercaya nilai kebenarannya.

Sebagai refleksi akhir dalam tulisan ini mengingat kembali tentang seorang kopral kecil, veteran Perang Dunia II berhasil naik menjadi kaisar Jerman. Dalam bukunya Main Kampf dengan tegas Hitler mengatakan bahwa keberhasilannya disebabkan oleh kemampuannya berbicara.

Beberapa jenis sarana retorika yang dapat disampaikan secara singkat dalam bagian ini antara lain; tautologi, pleonasme, retorik retisense, paralelisme, enumerasi, paradoks, hiperbola, dan kiasmus.

a. Tautologi

Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal secara berulang, setidaknya dua kali. Pengulangan ini dilakukan guna memperdalam arti kata atau keadaan terhadap pembaca atau pendengar. Meskipun secara fonologis pengulangan itu tidak terdengar atau terbaca sama, namun secara semiotis perulangan itu merujuk pada suatu hal atau arti yang sama, namun lebih mendalam. Misalnya: silih berganti tiada henti; tiada kuasa tiada daya, larinya cepat semakin cepat, dsb.

b. Pleonasme

Pleonasme ialah sarana retorika yang sekilas seperti Tautologi. Namun kata yang disebut kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Perulangan ini dimaksudkan agar maksud menjadi lebih jelas. Misalnya: naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, dsb.

c. Retorik Retisense

Retorik Retisense ialah sarana retorika yang menggunakan banyak titik-titik. Penggunaan titik banyak ini untuk menggantikan perasaan yang tidak dapat diungkapkan. Contohnya: hatiku ini….. oh….., kasihku……, dsb.

d. Paralelisme

Paralelisme ialah pengulangan isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana dalam Pradopo, 1990:97). Contohnya: Segala kulihat segala membayang, segala kupegang segala mengenang.

e. Enumerasi

Enumerasi ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian, agar hal-hal tersebut terkesan lebih jelas dan detil. Contohnya: di dalam suka di dalam duka, waktu bahagia waktu merana, masa tertawa masa kecewa, kami terbuai dalam nafasmu.

f. Paradoks

Paradoks ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara bertentangan, tetapi sebenarnya bila sungguh-sungguh dirasakan, sama sekali tidak bertentangan. Contohnya: hidup yang terbaring mati, aku beku dalam kepanasan, dsb.

 

g. Hiperbola

Hiperbola ialah sarana retorika yang melebih-lebihkan suatu keadaan. Guna menyangatkan, untuk intensitas dan ekspresivitas. Contohnya: cinta ini setinggi langit, wajahmu seperti matahari, dsb. Paradoks ini ada yang menggunakan penjajaran kata yang berlawanan seperti pertentangan hidup-mati, dalam kalimat: kesusahanku membuat hidup serasa mati. Paradoks ini disebut oksimoron.

h. Kiasmus

Kiasmus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya. Misalnya: diri mengeras dalam kehidupan, kehidupan mengeras di dalam diri.

Demikian sarana-sarana retorika yang seringkali digunakan untuk menciptakan sebuah karya sastra. Kebanyakan dari sarana retorika di atas adalah untuk memperdalam makna, memperjelas, mendetilkan dan menyangatkan makna agar pendengar atau pembaca bisa lebih mampu memahami maksud dan kondisi jiwa pengarang. Pengarang mewujudkan keinginan hatinya lewat pilihan kata dan rangkaian kata-kata tersebut sehingga karyanya melahirkan suatu medan semantis yang magnetis, yang begitu menarik perhatian dan membuat pembaca atau pendengar larut dalam kesyahduan isi karyanya.Oleh karenanya, agar tujuan pencapaian pemuasan estetis ini tercapai, demi pengutaraan maksud dan isi hati secara tepat, maka untuk itu haruslah dipilih kata-kata setepat mungkin. Pemilihan kata ini disebut diksi.

Menurut Barfield kata-kata yang dipilih itu menimbulkan imajinasi estetik, untuk mendapatkan kepuitisan atau nilai estetik. Dengan kata lain, kata-kata tersebut meghasilkan suatu renungan jiwa yang dalam, sehingga memungkinkan seorang pembaca atau pendengar mengalami kepuasan estetis. Menurut Elema, karya sastra harus meliputi keutuhan jiwa, Sastrowardoyo menerjemahkan hal tersebut sebagai karya sastra yang mampu dijiwai secara utuh. Jika sebuah karya sastra dapat dijiwai, atau setidaknya dapat menghadirkan suatu kesadaran lain dalam perenungan jiwa, maka karya sastra tersebut dapat merubah jiwa seseorang menjadi lebih budiman, ini yang dimaksud oleh Aristoteles dengan proses penyucian jiwa lewat seni atau Katharsis.

Sementara Oka (1976) mengatakan, bahwa retorika pada hakekatnya dimanfaatkan oleh setiap manusia yang hidup bermasyarakat dan berbudaya lewat kegiatan bertuturnya. Ia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang secara khusus memusatkan perhatian kepada tutur dan kegiatan bertutur. Sedangkan kegiatan bertutur tidak lain dari kehiatan membahas sesuatu yang dibahaskan ini dinamakan topik tutur. Selanjutnya Oka juga menekankan pada topik tutur dibahas menurut cara-cara tertentu sehingga berwujud ragam jenis tutur, seperti obrolan, lelucon, cerita, surat, keterangan, puisi, buku, pidato, khotbah, ceramah atau dharma wacana, dan lain sebagainya, dan apapun jenis bentuk bahasa yang dipakai, setiap topik tutur yang sudah dibahasakan secara umum bisa disebut tutur. Orang yang menuturkan disebut penutur, sedangkan orang yang menghayati tutur disebut penanggap tutur. Termasuk kedalamnya adalah pendengar dan pembaca. Peristiwa komunikasi yang berlangsung antara penutur dengan penenggap tutur disebut peristiwa tutur.

Berkaitan dengan menceritakan kembali satuaI Belog Mantu”, peristiwa menceritakan kembali satua tersebut merupakan suatu tindak tutur yang menuturkan kembali jalannya cerita secara lisan. Dimana orang yang menuturkan hal  tersebut sekaligus menghayati isi cerita sehingga ia mampu memahami keseluruhan isi cerita yang telah  ia baca.

Selain itu seorang penutur cerita atau yang menceritakan satua tersebut harus bisa mempengaruhi para pendengarnya tentunya dengan pemilihan bahasa yang tepat, pemakain argumen untuk memperjelas cerita, dan penampilan gaya khas penutur dalam menampilkan gagasan cerita itu. Sehingga penutur satu dengan yang lainnya berbeda-beda, walaupun cerita yang dituturkan itu sama.

 

2.2.4        Membaca

Membaca merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memproleh pesan yang hendak disampaikan penulis melalui media kata-kata/ bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas dan agar makna kata-kata secara individual akan diketahui. Bila hal tersebut tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami sehingga proses membaca tidak terlaksana dengan baik (Hoodgson 1960: 43-44).

Landasan teori membaca peneliti gunakan sebagai dasar pengukuran  pemahaman siswa dalam memahami/menghayati cerita yang dibaca untuk diceritakan kembali dengan bahasanya sendiri.

 

2.2.4.1 Tujuan  Membaca

Tujuan utama dalam membaca adalah mencari dan memperoleh informasi, mencakup isi dan menyangkut pemahaman makna bacaan. Makna sebuah bacaan berhubungan erat dengan maksud, tujuan dan intensif kita dalam membaca. Berikut dikemukakan beberapa hal yang penting dalam membaca.

1. Membaca untuk menemukan mengetahui apa yang telah dilakukan, dibuat, apa yang terjadi, atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh sang tokoh.

2. Membaca untuk mengetahui mengapa hal tersebut merupakan topic yang baik dan menarik, masalah yang terda[pat dalam cerita, apa yang dialami oleh sang tokoh dan hal-hal yang dilakukan untuk mencapai tujuan.

3. Membaca untuk mengetahui apa yang hendak diperlihatkan oleh sang pengarang kepada para pembaca.

4. Membaca untuk mengetahui apa yang wajar menganai seorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, dan apa cerita itu merupakan fakta atau fiksi belaka.

5). Membaca untuk menemukan apakah sang tokoh berhasil atau hidup dalam ukuran-ukuran tertentu, apakah prilaku sang tokoh patut ditiru atau tidak.

6).  Membaca untuk menemukan bagaimana caranya sang tokoh menghadapi permasalahan dalam rentangan cerita secara keseluruhan.

Sehubungan dengan penelitian menceritakan kembali satua I Belog Mantu” yang merupakan  keterampilan membaca adalah suatu dasar untuk pemahaman keterampilan berbahasa khusunya Menceritan suatu cerita. Berdasarkan hal itu dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara kedua keterampilan itu. Untuk menceritakan suatu cerita harus diawali dengan membaca teks ceritanya kemudian dipahami isinya, barulah siswa akan mampu menceritakn kembali isi dari cerita tersebut.

 

2.2. 5   Kreteria Penilaian Aspek Menceritakan

Adapun kreteria untuk aspek menceritakan, meliputi: ucapan, tekanan, intonasi, dan  kelancaran dalam menceritakan kembali cerita yang sudah dibaca dengan tepat.

 

2.2.5.1 Ucapan

Menurut Keraf (1984: 53) cara mengucapkan sebuah kata dapat dimasukkan kedalam sebuah kamus. Gunanya untuk membantu para pemakai, agar dapat mengucapkan sebuah kata dengan benar dan tepat. Ucapan itu ditulis dengan simbol-simbol fonetis, yang bagi bahasa Indonesia boleh dikatakan sama dengan simbol ejaan resmi kecuali beberapa, misalnya dalam KUBI (Kurikulum Bahasa Indonesia) cetakan V dimasukkan keterangan mengenai ucapan agar tidak salah diucapkan misaalnya kata céngcéng (cêngcêng), dan pada saat berucap atau bertutur kata biasanya seorang peutur yang baik memiliki  kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta jelas dalam artikulasi dan artikulator.

Berkaitan dengan penilain menceritakan kembali satua yang dinilai dalam ucapan yaitu Memiliki kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta jelas dalam artikulasi dan artikulator.

 

2.2.5.2  Tekanan/Intonasi

Menurut Keraf (1984: 52) agar sebuah kata dapat diucapkan dengan benar, maka kata-kata dalam sebuah kamus dapat diberi tanda-tanda tekanan pada suku-suku kata yang patut mendapat tekanan. Bahasa-bahsa yang memiliki tekanan membedakan empat macam tekanan , yaitu tekanan paling keras, tekanan keras, tekanan lembut, dan tekanan paling lembut..

            Sesuai dengan paparan di atas maka yang dinilai dalam tekanan menceritakan kembali satua secara keseluruhan menyangkut ketepatan dalam bertutur cerita yang disesuaikan dengan tekanan suara baik tinggi rendahnya suara maupun keras lembutnya suara yang diucapkan. Serta suatu bahasa biasanya memiliki tekanan dinamik, tekanan tempo, tekanan nada dan modulasi.

 

2.2.5.3  Intonasi

Menurut Samsuri (1981: 227) intonasi adalah suatu tanda untuk mengukur tinggi rendahnya suatu bahasa , misalnya intonasi pada saat mengucapkan kata yang berisi tanda seru {!}; tanda tanya {?}; tanda koma {,}; dan tanda titik {.}.

Dalam hal ini penilainnya jelas sekali dimana penilai intonasi yang diambil ketika menceritakan cerita dilihat dari segi tanda baca atau irama/jeda sesuai dengan kalimat yang dituangkan dalam bahasa cerita oleh siswa itu sendiri.

 

2.2.5.4  Kelancaran

            Menurut BSNP (2006) kata-kata yang diucapkan apakah sudah lancar tanpa hambatan dan tepat waktu sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dengan acuan seperti itu sudah jelas penilain tentang kelancaran menceritakan kembali suatu cerita, siswa selaku pencerita harus mampu bercerita tanpa adanya kesalahan karena gagap, ataupun semacam keragu-raguan.

 Siswa dituntut bisa menampilkan cerita secara keseluruhan dengan tepat memiliki kualitas suara yang baik, tidak gugup/ragu-ragu dalam bercerita serta diimbangi dengan ekspresi wajah,pandangan mata dan gerakan tangan berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita dengan penuh penghayatan ekspresiari olah vokal, penjiwaan dengan karakternya sendiri. Berkaitan dengan itu siswa juga harus bisa menguasai atau mampu menceritan cerita yang sudah dibaca dengan isi keseluruhan secara singkat dan padat tanpa adanya kekeliruan

 


BAB III

METODE PENELITIAN

 

Metode adalah jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan (Netra, 1974: 1). Tercapai atau tidaknya suatu tujuan tergantung dari metode yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam suatu penelitian metode merupakan suatu syarat utama bagi seorang peneliti. Tujuan penelitian akan dapat tercapai, apabila penelitian tersebut dilaksanakan dengan menggunakan metode yang tepat. Dengan demikian jelaslah betapa besar peranan metode penelitian di dalam kegiatan penelitian. Sehingga hasil penelitian itu benar-benar dapat dipertanggung jawabkan.

 Penelitian adalah suatu aktivitas yang di lakukan secara mandalam. Motif dari suatu penelitian itu adalah masalah. Biasanya makin banyak komponen yang di teliti makin dalam penelitian yang di lakukan. Di samping menggunakan penelitian yang mendalam juga menggunakan rencana sistematis. Rencana sistematis merupakan langkah-langkah pokok dalam suatu penelitian.  Penelitian juga menggunakan metode ilmiah, sedangkan tujuan akhir dalam penelitian adalah mencari suatu kebenaran ilmiah.

Jadi Metode Penelitian adalah suatu aktivitas yang mengandung suatu masalah, rencana sistematis, metode-metode ilmiah, dan bertujuan unutuk mencari kebenaran ilmiah. Guna menunjang ke-ilmiahan penelitian kemampuan menceritakan kembali satua  ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA N 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011, digunakan metode: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode pendekatan subjek; (3)metode pengumpulan data; dan (4) metode pengolahan data.

 

3.1        Metode Penentuan Subjek Penelitian

            Metode penentuan subjek penelitian ini adalah suatu metode atau teknik yang dipakai dalam menentukan subjek yang akan diteliti. Ditinjau dari wilayah sumber data, maka dibedakan menjadi dua jenis penelitian yaitu penelitian populasi, dan penelitian sampel. Hasil penelitian sample berlaku bagi populasi, sedangkan hasil penelitian kasus berlaku bagi kasus itu sendiri (Arikunto, 1993: 104). Netra (1974: 22) menyatakan, bahwa subjek penelitiam adalah suatu metode yang digunakan dalam rangka mentukan subjek penelitian. Setiap suatu penelitian terlebih dahulu harus menentukan subjek penelitian terlebih dahulu harus menetukan subjek penelitian. Kedua unsur tersebut tidaklah sama, tetapi mempunyai hubungan yang erat antara yang satu dengan yang lainnya.

Langkah-langkah penentuan subjek penelitian ini meliputi subjek penelitian, objek penelitian, dan tempat penelitian. Subjek penelitian adalah setiap individu yang akan kita teliti, individu yang dimaksud adalah manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda (Netra, 1979 : 20).

Sesuai dengan dengan hal tersebut di atas, penulis mengambil penelitian sampel karena mengingat keterbatasan waktu dan keadaan tempat penelitian. Subjek penelitian yang diambil yaitu semua siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar. Objek penelitian adalah gejala atau peristiwa yang diteliti. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah tentang kemampuan menceritakan kembali satua ’I Belog Mantu”.

3.1.1    Populasi Penelitian

Suatu populasi harus dinyatakan dengan tegas batas-batasnya, karena generalisasi yang dilakukan harus jelas lebih dahulu batas-batasnya dan tidak berlaku untuk populasi yang lain (Netra, 1979 : 31).

Menyimak uraian tersebut, penulis menetapkan populasi penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011. Lebih jelasnya maka populasi akan dikemukakan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 3.1: Populasi Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011.

 

 

Kelas

Jenis Kelamin

Jumlah

Laki-Laki

Perempuan

2

3

4

5

XI IPS 1

28

12

40

XI IPS 2

26

12

38

XI IPS 3

27

12

39

XI IPS 4

26

9

35

XI IPA 1

24

23

47

XI IPA 2

23

24

47

XI IPA 3

24

24

48

XI IPA 4

26

22

48

XI IPA 5

25

23

48

XI IPA 6

9

27

36

JUMLAH

  426

 

 

3.1.2        Sampel Penelitian

Berdasarkan tabel diatas, jumlah populasi dalam penelitian adalah 426 oarang yang terdiri atas 238 putra dan 188 putri. Mengingat banyaknya jumlah populasi yang akan diteliti serta diharapkan penelitian ini memperoleh hasil yang maksimal, maka akan ditetapkan sejumlah sample penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1993:107) yang mengemukakan sebagai berikut.

Untuk sekedar acer-ancer, maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25%, tergantung setidak-tidaknya dari:

a).  Kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana.

b). Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data.

c). Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang resikonya besar, tentu saja jika sampel lebih besar, hasilnya akan lebih baik.

 

Berdasarkan pendapat Arikunto di atas, maka besarnya jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 25% dari populasi, yaitu 426 x 25% = 106,5 = 106 orang.          

Terkait dengan penelitian ini digunakan teknik sampling yaitu Random sampling. Berikut ini akan dijelaskan tentang penggunaan teknik Random sampling.

3.1.2.1  Random Sampling

Pengambilan sampel dengan teknik random merupakan pengambilan sampel tanpa pandang bulu atau secara acak. Menurut Marzuki (1983:43) pengambilan sampel dengan teknik random adalah teknik yang paling baik dalam pelaksanaan penelitian. Dalam teknik ini, semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Namun dalam penelitian ini pencarian sampel di bantu oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam teknik random:

1.      Menulis nomor subjek pada kertas-kertas kecil sesuai dengan jumlah siswa pada kelas yang bersangkutan;

2.      Menggulung kertas tersebut baik-baik;

3.      Mamasukkan gulungan tersebut ke dalam kaleng;

4.      Mengocok baik-baik keleng tersebut;

5.      Kertas tadi dikeluarkan satu persatu dari kaleng. Siswa yang nomernya nya keluar dari kaleng ditetapkan sebagai anggota sampel. Kemudian, kaleng itu terus dikocok dan kertasnya dikeluatkan satu persatu sampai jumlah sampel yang ditentukan di kelas tersebut terpenuhi.

Tabel 3.2: Nama Sampel Penelitian Siswa Kelas Xi SMA N8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011

 

 

No.

 

Nama Siswa

Kelas

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Perempuan

1

2

3

4

5

1

Amalika Gitamaharani  Ni Made

XI IPA 6

 

2

Angkus Surawan, I Komang

XI IPA 6

 

3

Ari Saptarini, I Gusti Ayu

XI IPA 6

 

4

Astri Pradnyandari, Ni Putu

XI IPA 6

 

5

Astri Pradnyandari, Ni Putu

XI IPA 6

 

6

Ayu Cindy Pramitha Putri, Putu

XI IPA 6

 

7

Ayu Dwijayanti, Ni Putu

XI IPA 6

 

8

Ayu Imelda Sasiandari, Ni Putu

XI IPA 6

 

9

Ayu Pratiwi Maharani, Ni Made

XI IPA 6

 

10

Ayu Tri Martriani, Nyoman

XI IPA 6

 

11

Bintang Nararya Sena, I Gede

XI IPA 5

 

12

Cindy Arista, Putu

XI IPA 5

 

13

Dalam Saputra Jagadhita, I Made

XI IPA 5

 

14

Dian Utami Jelantik, Putu

XI IPA 5

 

1

2

3

4

5

15

Eka Dewi Kartika, Ni Putu

XI IPA 5

 

16

Hendy Setiawan, I Gst. Ag. Ngr

XI IPA 5

 

17

Indriana Triastuti

XI IPA 5

 

18

Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A.

XI IPA 5

 

19

Krisna Masyuda

XI IPA 5

 

20

Mariadnyani, Ni wayan

XI IPA 5

 

21

Mega Danu Ningrum

XI IPA 4

 

22

Nanda PradnyaDianti, Dewa Ayu Putu

XI IPA 4

 

23

Nita Wiryandari, Ni Putu

XI IPA 4

 

24

Putri Ariyanti, Gst. A

XI IPA 4

 

25

Rachma Ayu Santyka Sasmitha

XI IPA 4

 

26

Rahayu Kusuma Pratiwi, Ni Putu

XI IPA 4

 

27

Reza Bregas Pangestu

XI IPA 4

 

28

Roshida Qurota Aini Islamiah

XI IPA 4

 

29

Sri Agustiani, Ni Luh

XI IPA 4

 

30

taharyanti, Gst. Ayu Putu

XI IPA 4

 

31

Wira Adi Kesuma, I Kadek

XI IPA 3

 

32

Yogi Aditya

XI IPA 3

 

33

Yuli Dwi Ayu Kartika

XI IPA 3

 

34

Yulia Hartanti Praptika, Putu

XI IPA 3

 

35

Yunita Sari , Ni Putu

XI IPA 3

 

36

Aditya Pratama, I Putu

XI IPA 3

 

37

Agung  Reza Pratama Putra, Putu

XI IPA 3

 

38

Agus Nanda Yudistira

XI IPA 3

 

39

Agus Nova Andreana

XI IPA 3

 

40

Agus Saputra Darma, I Wayan

XI IPA 3

 

41

Arya Putra Bharata, I Made

XI IPA 2

 

42

Ayu Devi Dharmayanti, Putu

XI IPA 2

 

43

Ayu Satriani, Ni Made

XI IPA 2

 

44

Ayu Sri Wahyuni, Ketut

XI IPA 2

 

45

Ayu Suasti Dewi, Ni Made

XI IPA 2

 

46

Bella Kharisma

XI IPA 2

 

47

Bobie Chriesna Kurniawan

XI IPA 2

 

48

Dedy Gunawan, I Wayan

XI IPA 2

 

49

Desy Rosita Dewi, Ni Made

XI IPA 2

 

50

Dewi Agustini, Putu

XI IPA 2

 

51

Dewi Anjani, Ni Ketut

XI IPA 1

 

52

Dian Novita Mayasari

XI IPA 1

 

53

Dini Kuswandari, Gusti Ayu

XI IPA 1

 

54

Diptha Nugraha R, Ida Bagus

XI IPA 1

 

55

Ika Septia Utami

XI IPA 1

 

56

Indah Windayani, Ni Luh Putu

XI IPA 1

 

1

2

3

4

5

57

Juliana Dewi, Ni Komang

XI IPA 1

 

58

Kriesna Widiastuti, I.A

XI IPA 1

 

59

Krisna Adi Astika, I Putu

XI IPA 1

 

60

Krisna Wijaya, I Nyoman

XI IPA 1

 

61

Mada Aditya Kurniawan

XI IPS 1

 

62

Oka Sudiana, Putu

XI IPS 1

 

63

Okta Viantini, Ni Luh Putu

XI IPS 1

 

64

Pradnya Paramitha, I Gst. Ayu

XI IPS 1

 

65

Pramanda Aninti, Ni Luh Gede

XI IPS 1

 

66

Purwa Darmaja,  Wayan Gede

XI IPS 1

 

67

Putri Awandari, Luh Putu

XI IPS 1

 

68

Ririn Purnami, Ni Made

XI IPS 1

 

69

Trinasari Putri, Komang

XI IPS 1

 

70

Wintara Wima Putra, Putu

XI IPS 1

 

71

Windu Dwi Widanta, I.B. Md

XI IPS 2

 

72

Wira Adi Suputra, I Putu Gede

XI IPS 2

 

73

Wiwin arlina , NiLuh putu

XI IPS 2

 

74

Wulandari, I.G.A

XI IPS 2

 

75

Yoga Artanaya,  Putu

XI IPS 2

 

76

Yoga Sumantara, I Wayan

XI IPS 2

 

77

Yudi Kesuma Putra, I Wayan

XI IPS 2

 

78

Yudi Perwana, I Wayan

XI IPS 2

 

79

Aditya Y.P, I Putu Gede

XI IPS 2

 

80

Bayu Santika, Putu

XI IPS 2

 

81

Deky Marcika, I Nyoman

XI IPS 3

 

82

Dewi Suryantari, Ni Putu

XI IPS 3

 

83

Dwi Cahya Kusuma, Made

XI IPS 3

 

84

Dwi Gunayasa, I Made

XI IPS 3

 

85

Dwi Pranata, I Made

XI IPS 3

 

86

Gita Pramana Putra, I Made

XI IPS 3

 

87

Guna Yulita, Ni Luh Ketut

XI IPS 3

 

88

Ida Bagus Weda Karanata

XI IPS 3

 

89

Kurnia Philyanti

XI IPS 3

 

90

Manu Mahari, Luh

XI IPS 3

 

91

Meilani Wulandari, Ni Putu

XI IPS 3

 

92

Metriyani, Ni Wayan

XI IPS 3

 

93

Mita Andharista, Ni Putu

XI IPS 4

 

94

Mulya Iswara, Ida Bagus

XI IPS 4

 

95

Nami Sawitri, Ni Wayan

XI IPS 4

 

96

Nita Rianti, Kadek

XI IPS 4

 

97

Oka Cahyadi, I Made

XI IPS 4

 

98

Putra Partha Nadi, I Made

XI IPS 4

 

99

Rama Udiyana, Ida Bagus

XI IPS 4

 

1

2

3

4

5

100

Rumadi Putra, I Made

XI IPS 4

 

101

Sri Murtini, Komang

XI IPS 4

 

102

Sri Rahayu, Ni Luh

XI IPS 4

 

103

Widiantini, Ni Ketut

XI IPS 4

 

104

Widya Savitri, Putu

XI IPS 4

 

105

Wira Diana Putra, I Made

XI IPS 4

 

106

Wiyasa, I Putu

XI IPS 4

 

Jumlah

 

44

62

 

 

3.2       Metode Pendekatan Subjek Penelitian

Metode pendekatan subjek penelitian merupakan metode yang khusus dipakai untuk mendekati subjek penelitian. Dalam penelitian ini, metode pendekatan subjek penelitian yang digunakan adalah metode empiris kuantitatif.

Metode empiris adalah suatu pendekatan di mana gejala yang akan diselidiki sudah ada secara wajar (Netra 1974: 38). Penulis menggunakan metode ini karena gejala yang akan diselidiki sudah ada secara wajar, yaitu kemampuan menceritakan kembali sebuah satua.

Gejala wajar yang dimaksud adalah materi pembelajaran mengungkapkan wacana dari membaca berupa satua Bali sudah di ajarkan  disekolah sesuai dengan kurikulum yang berlaku sehingga siswa sudah memiliki kemampuan mengungkapkan suatu wacana dan tidak perlu lagi mengadakan eksperimen..

 

3.3  Metode Pengumpulan Data

Suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan data-data dengan menggunakan metode tertentu disebut metode pengumpulan data. Dalam rangka pengumpulan data mengenai kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 menggunakan tiga metode, yaitu (1) metode tes, (2) metode observasi, (3) metode wawancara.

3.3.1  Metode Tes                             

Nurkancana dan Sunartana (1981: 278) menyatakan bahwa tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk tugas yang harus dikerjakan oleh siswa atau sekelompok siswa sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku prestasi siswa tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai anak-anak lain atau nilai standar yang ditetapkan.

Metode tes yang digunakan dalam  penelitian ini menggunakan tes tindakan. Dalam penelitian ini tes dilaksanakan dengan cara menilai kemampuan siswa menceritakan kembali sebuah satua “I Belog Mantu”  di depan kelas dengan kriteria penilaian meliputi: ucapan, tekanan, intonasi, dan kelacaran.

3.3.2        Metode Observasi

Menurut Subagyo (2006:63) menyatakan observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Dalam penelitian ini dokumen yang dicatat adalah buku-buku yang relevan dengan persoalan yang diteliti., seperti  buku kumpulan satua Bali, aneka paribasa Bali, silabus dan dokumen-dokumen lainnya yang dipandang menunjang kelancaran penelitian ini.

Narbuko (2005:70) menyatakan observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat gejala-gejala yang diselidiki. Selanjutnya Hadi (2000:151) menyatakan observasi adalah secara sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk melakukan pengamatan secara langsung tentang kemampuan siswa dalam menceritakan kembali satua ke depan kelas disertai dengan teknik perekaman dengan menggunakan Handy Cam.

3.3.3        Metode Wawancara

Untuk memperoleh data tentang kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dilakukan dengan mengunakan  pedoman wawancara. Metode wawancara adalah suatu cara untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap langsung atau bertatap muka (Kuntjaraningrat, 1983: 124). Pendapat lain juga mengatakan, wawancara adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan melakukan tanya jawab yang sistematis (Netra, 1974: 53).

Dapat disimpulkan, wawancara adalah suatu metode untuk memperoleh data dengan cara wawancara maupun tanya jawab antara si peneliti dengan yang diteliti. Metode wawancara digunakan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011  dalam menceritakan kembali satua “I Belog Mantu”.

Pedoman wawan cara dapat dilihat dalam lampiran setelah daftar pustaka.

 

 

3.4       Metode Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan perlu diolah secara sistematis untuk memperoleh simpulan yang akurat. Metode pengolahan data sangat erat kaitannya dengan jenis data yang dikumpulkan. Secara teoretis ada dua metode analisis data yaitu metode deskritif dan metode analisis. Metode deskriptif digunakan apabila data yang dikumpulkan berupa data kualitatif, sedangkan metode analisis digunakan apabila data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif. Selanjutnya metode analisis dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu analisis statistik dan dihitung dengan menggunakan rumus tertentu untuk menarik kesimpulan.

Terkait dengan penelitian ini, data yang di kumpulkan berupa angka tetapi tidak diformulasikan dengan rumus matematika tertentu. Angka-angka yang diperoleh akan disistematiskan sehingga memperoleh simpulan. Analisis data dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik deskritif. Metode statistik deskritif yaitu pengolahan data yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan abjek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebihy luas (Sugiono, 1999: 13-14;21).

Adapun langkah-langkah pengolahan data yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu dengan (1) mengubah sekor mentah menjadi skor standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) mengelompokkan prestasi siswa, (4) mencari skor rata-rata, dan 5) menarik kesimpulan.

 

3.4.1    Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar

Dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar dipergunakan langkah langkah sebagai berikut.

1)            Menentukan Skor Maksimal Ideal (SMI)

      Skor maksimal ideal adalah jumlah skor tertinggi yang diperoleh berdasarkan pedoman penilaian. Berdasarkan jumlah aspek yang dinilai dan rentangannya, maka skor maksimal ideal dari menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”dalam penelitian ini adalah 16.

Tabel: 3.3 Skor maksimal Ideal Kamampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”.

 

No.

Aspek

Skor

1

2

3

1

2

3

4

Ucapan

Tekanan

Intonasi

Kelancaran

1-4

1-4

1-4

1-4

Jumlah SMI

16

 

Keterangan : I.


            1 = sangat kurang

            2 = kurang                                                             

            3 = cukup

            4  = tepat


 

Tabel:  3.4  Diskriptor Penilaian Kamampuan Menceritakan Kembali Satua ”I Belog Mantu”

 

No.

Aspek yang dinilai

Keterangan Nilai (1-4)

Skor

Diskriptor/Kreteria Penilaian

1

2

3

4

1.

Ucapan

 

4

Memiliki kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta jelas dalam artikulasi dan artikulator.

 

 

3

Memiliki kualitas dan daya tahan suara, artikulsi dan artikulator jelas tetapi tidak memiliki keindahan berirama.

2

Memiliki kualitas dan daya tahan suaratetapi tidak jelas dalam artikulasi dan artikulator

1

Tidak memiliki kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta tidak jelas dalam artikulasi dan artikulator

2.

Tekanan

 

4.

Memiliki tekanan dinamik, tekanan tempo, tekanan nada dan modulasi.

3.

Memiliki tekanan dinamik, tekanan tempo, tekanan nada tetapi tidak memiliki modulasi

2.

Memiliki tekanan dinamaik dan tekanan tempo tetapi tidak memiliki tekanan nada dan modulasi.

1.

Tidak memiliki tekanan dinamik tekanan tempo, tekanan nada dan modulasi

3.

Intonasi

4

Memiliki irama suara dengan  ketepatan jeda yang baik dalam bercerita.

3

Memiliki irama suara dengan  ketepatan jeda yang cukup baik dalam bercerita.

2

Memiliki irama suara dengan  ketepatan jeda kurang  baik dalam bercerita.

1

Tidak memiliki irama suara dengan ketepatan jeda dalam bercerita.

4.

Kelancaran

 

 

 

 

 

 

 

 

4

Memiliki kualitas suara yang baik, tidak gugup/ragu-ragu dalam bercerita serta diimbangi dengan ekspresi.

 

wajah,pandangan mata dan gerakan tangan berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita dengan penuh penghayatan ekspresi

3

 

 

Memiliki kualitas suara yang cukup baik, tidak gugup/ragu-ragu dalam bercerita serta diimbangi dengan ekspresi wajah dan pandangan mata berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita tetapi tidak dengan gerakan tangan.

2

 

Kurang memiliki kualitas suara atau ragu-ragu dalam bercerita serta Kurang Memiliki ekspresi wajah berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita tetapi tidak disertai gerakan tubuh.

1

Kualitas suara sangat kurang atau gugup dan ragu-ragu dalam bercerita Tidak memiliki ekspresi wajah, pandanga mata dan gerakan tangan berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita.

 

 

2).        Membuat Pedoman Konversi

Pedoman konversi yang digunakan dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar dengan menggunakan norma absolut skala seratus disebut juga skala persentil. Untuk mengkonversikan skor mentah menjadi skor standar dengan norma absolut skala seratus dipergunakan rumus sebagai berikut.

  P =   X  . 100

   SMI

 

Keterangan:     P = Persentil

                        X = Skor yang dicapai

                        SMI = Skor maksimal Ideal (Nurkancana 1992:99).

Berdasarkan rumus di atas, skor maksimal ideal dapat dihitung sebagai berikut:

 


         16

1).                    x 100 = 100

            16

 

         15

2).                    x 100 = 93

            16

 

 

         14

3).                    x 100 = 87

            16

 

       

         13

4).                    x 100 = 81

            16

 

 

         12

5).                    x 100 = 75

            16

 

        

        11

6).                    X 100 = 68

            16

 

        

         10

7).                    X 100 = 62

            16

      

           9

8).                    X 100 = 56

            16

 

           8

9).                    X 100 = 50

            16

 

 

           7

10).                  X 100 = 43

            16

 

       

          

          6

11).                  X 100 = 37

            16

 

 

              5

12).                  X 100 = 31

            16

 

          4

13).                  X 100 = 25

            16

 

          3

14).                  X 100 = 18

            16

 

         

          2

15).                  X 100 = 12

            16

 

           1

16).                  X 100 = 6

            16

 

          0

17).                  X 100 = 0

             1


Tabel 3.5 Pedoman Konversi Kemampuan Menceritakan Kembali Satua ”I              Belog Mantu”.

 

Skor Mentah

Skor Standar

1

2

16

100

15

93

14

87

13

81

12

75

11

68

10

62

9

56

8

50

7

43

6

37

5

31

4

25

3

18

2

12

1

6

0

0

 

 

3.3.4        Menentukan Kreteria Predikat

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”, digunakan kriteria predikat yangs sering digunakan dalam raport SMA sebagai berikut.

 

Tabel 3.6  Kreteria Predikat Kemampuan Menceritakan Kembali Satua ”I Belog Mantu”

 

Skor Standar

Predikat

1

2

90-100

A = Baik Sekali

75-89

B  = Baik

60-74

C  = Cukup

0-59

D  = Kurang

                                                                        (Depdiknas 2006:3)

 

3.3.5        Mengelompokkan Prestasi Siswa

Setelah skor standar dan predikat kemampuan siswa ditentukan, selanjutnya kemampuan siswa tersebut dikelompokkan berdasarkan jumlah prosentasenya. Misalnya, berapa orang atau berapa persen yang mendapat nilai 90, berapa orang yang mendapat nilai 80, dan seterusnya.

 

3.3.6        Mencari Skor Rata-Rata

Untuk menghitung skor rata-rata digunakan rumus sebagai berikut.

Me = Sxi

            n

 

Keterangan:

Me = Mean ( rata-rata),          

S    = Apsilon (baca jumlah)

Xi  = Nilai x ke-i sampai n,dan

n    = jumlah individu (Sugiyono 1999:42-43) 

3.3.7        Simpulan

 

Langkah terakhir yang digunakan dalam pengolahan data adalah menarik kesimpulan. Kesimpulan dapat diambil berdasarkan data yang terkumpul dan diolah melalui metode yang telah ditentukan. Jadi kesimpulan tentang kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”, dan kesulitan-kesulitan siswa dalam menceritakan satua ”I Belog Mantu”,  dapat disimpulkan pada bab berikutnya.


BAB IV

PENYAJIAN HASIL PENELITIAN

 

Bab ini mengulas tentang kemampuan menceritakan kembali satua “I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011. Penyajian hasil penelitian ini dibagi menjadi empat (4) bagian: (1) hasil pengumpulan data, (2) hasil analisis data , (3) prosentase tingkat kemampuan siswa, (4) skor rata-rata, dan (5) simpulan analisis data.

 

4.1    Hasil Pengumpulan Data Tes

Pada bagian ini disajikan data hasil penelitian mengenai kemampuan menceritakan kembali satuaI Belog Mantu” oleh siswa kelas XI SMA Negri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011. Setelah tes di laksanakan pada tanggal 24 januari 2011 sampai selesai, maka di perolehlah data tes. Hasil penyekoran data yang masih berupa skor mentah yang dicapai oleh siswa selanjutnya dirangking. Skor siswa yang paling tinggi ditaruh paling atas, di bawahnya adalah siswa yang mendapat skor lebih  rendah, demikian seterusnya hingga skor paling rendah diletakkan paling bawah. Berdsarkan urain di atas, skor dari masing-masing siswa akan diketahui. Adapun skor yang diperoleh masing-masing siswa ditampilkan pada tabel di bawah ini:

 

 

 

Tabel 4.1   Data Kemampuan Menceritakan Kembali SatuaI Belog Mantu” Oleh Siswa Kelas XI SMA Negri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011.

 

No.

Nama

Skor Mentah

Jumlah

Ucapan

Tekanan

Intonasi

Kelancaran

 

1

2

3

4

5

6

7

1

Amalika Gitamaharani  Ni Made

4

4

3

4

15

2

Angkus Surawan, I Komang

4

4

3

4

15

3

Ari Saptarini, I Gusti Ayu

4

4

3

4

15

4

Astri Pradnyandari, Ni Putu

4

4

3

4

15

5

Astri Pradnyandari, Ni Putu

4

4

3

4

15

6

Ayu Cindy Pramitha Putri, Putu

4

4

3

4

15

7

Ayu Dwijayanti, Ni Putu

4

4

3

4

15

8

Ayu Imelda Sasiandari, Ni Putu

4

4

3

4

15

9

Ayu Pratiwi Maharani, Ni Made

4

4

3

4

15

10

Ayu Tri Martriani, Nyoman

4

4

3

4

15

11

Bintang Nararya Sena, I Gede

4

4

3

4

15

12

Cindy Arista, Putu

4

4

3

4

15

13

Dalam Saputra Jagadhita, I Made

4

4

3

4

15

14

Dian Utami Jelantik, Putu

4

4

3

4

15

15

Eka Dewi Kartika, Ni Putu

4

4

3

4

15

16

Hendy Setiawan, I Gst. Ag. Ngr

4

4

3

4

15

17

Indriana Triastuti

4

4

3

4

15

18

Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A.

4

4

3

4

15

19

Krisna Masyuda

 

4

4

3

4

15

1

2

3

4

5

6

7

20

Mariadnyani, Ni wayan

3

4

3

4

15

21

Mega Danu Ningrum

3

4

4

4

15

22

Nanda PradnyaDianti, Dewa Ayu Putu

4

4

3

4

15

23

Nita Wiryandari, Ni Putu

4

3

3

4

14

24

Putri Ariyanti, Gst. A

4

3

3

4

14

25

Rachma Ayu Santyka Sasmitha

4

3

3

4

14

26

Rahayu Kusuma Pratiwi, Ni Putu

4

3

3

4

14

27

Reza Bregas Pangestu

4

3

3

4

14

28

Roshida Qurota Aini Islamiah

4

3

3

4

14

29

Sri Agustiani, Ni Luh

4

3

3

4

14

30

taharyanti, Gst. Ayu Putu

4

3

3

4

14

31

Wira Adi Kesuma, I Kadek

4

3

3

4

14

32

Yogi Aditya

4

3

3

4

14

33

Yuli Dwi Ayu Kartika

4

3

3

4

14

34

Yulia Hartanti Praptika, Putu

4

3

3

4

14

35

Yunita Sari , Ni Putu

4

3

3

4

14

36

Aditya Pratama, I Putu

4

3

3

4

14

37

Agung  Reza Pratama Putra, Putu

4

3

3

4

14

38

Agus Nanda Yudistira

4

3

3

4

14

39

Agus Nova Andreana

4

3

3

4

14

40

Agus Saputra Darma, I Wayan

4

3

3

4

14

 

41

Arya Putra Bharata, I Made

4

3

3

4

14

42

Ayu Devi Dharmayanti, Putu

4

3

3

4

14

43

Ayu Satriani, Ni Made

4

3

3

4

14

44

Ayu Sri Wahyuni, Ketut

4

3

3

4

14

1

2

3

4

5

6

7

45

Ayu Suasti Dewi, Ni Made

4

3

3

4

14

46

Bella Kharisma

4

3

3

4

14

47

Bobie Chriesna Kurniawan

4

3

3

4

14

48

Dedy Gunawan, I Wayan

4

3

3

4

14

49

Desy Rosita Dewi, Ni Made

4

3

3

4

14

50

Dewi Agustini, Putu

4

3

3

4

14

51

Dewi Anjani, Ni Ketut

4

3

3

4

14

52

Dian Novita Mayasari

4

3

3

4

14

53

Dini Kuswandari, Gusti Ayu

4

3

3

4

14

54

Diptha Nugraha R, Ida Bagus

4

3

3

4

14

55

Ika Septia Utami

4

3

3

4

14

56

Indah Windayani, Ni Luh Putu

4

3

3

4

14

57

Juliana Dewi, Ni Komang

4

3

3

4

14

58

Kriesna Widiastuti, I.A

4

3

3

4

14

59

Krisna Adi Astika, I Putu

4

3

3

4

14

60

Krisna Wijaya, I Nyoman

4

3

3

4

14

61

Mada Aditya Kurniawan

4

3

3

4

14

62

Oka Sudiana, Putu

4

3

3

4

14

 

63

Okta Viantini, Ni Luh Putu

4

3

3

4

14

64

Pradnya Paramitha, I Gst. Ayu

4

3

3

4

14

65

Pramanda Aninti, Ni Luh Gede

3

3

3

4

13

66

Purwa Darmaja,  Wayan Gede

3

3

3

4

13

67

Putri Awandari, Luh Putu

3

3

3

4

13

68

Ririn Purnami, Ni Made

3

3

3

4

13

1

2

3

4

5

6

7

69

Trinasari Putri, Komang

3

3

3

4

13

70

Wintara Wima Putra, Putu

3

3

3

4

13

71

Windu Dwi Widanta, I.B. Md

3

3

3

4

13

72

Wira Adi Suputra, I Putu Gede

3

3

3

4

13

73

Wiwin arlina , NiLuh putu

3

3

3

4

13

74

Wulandari, I.G.A

3

3

3

4

13

75

Yoga Artanaya,  Putu

3

3

3

4

13

76

Yoga Sumantara, I Wayan

3

3

3

4

13

77

Yudi Kesuma Putra, I Wayan

3

3

3

4

13

78

Yudi Perwana, I Wayan

4

3

3

3

13

79

Aditya Y.P, I Putu Gede

3

3

3

4

13

80

Bayu Santika, Putu

4

3

3

3

13

81

Deky Marcika, I Nyoman

3

3

3

4

13

82

Dewi Suryantari, Ni Putu

3

3

3

4

13

83

Dwi Cahya Kusuma, Made

4

3

3

3

13

84

Dwi Gunayasa, I Made

4

3

3

3

13

85

Dwi Pranata, I Made

3

3

3

4

13

86

Gita Pramana Putra, I Made

3

3

3

4

13

87

Guna Yulita, Ni Luh Ketut

3

3

3

3

12

88

Ida Bagus Weda Karanata

3

3

3

3

12

89

Kurnia Philyanti

3

3

3

3

12

90

Manu Mahari, Luh

3

3

3

3

12

91

Meilani Wulandari, Ni Putu

3

3

3

3

12

1

2

3

4

5

6

7

92

Metriyani, Ni Wayan

3

3

3

3

12

93

Mita Andharista, Ni Putu

3

3

3

3

12

94

Mulya Iswara, Ida Bagus

3

3

3

3

12

95

Nami Sawitri, Ni Wayan

3

3

3

3

12

96

Nita Rianti, Kadek

3

3

3

3

12

97

Oka Cahyadi, I Made

3

3

3

3

12

98

Putra Partha Nadi, I Made

3

3

3

3

12

99

Rama Udiyana, Ida Bagus

3

3

3

3

12

100

Rumadi Putra, I Made

3

3

3

3

12

101

Sri Murtini, Komang

3

3

3

3

12

102

Sri Rahayu, Ni Luh

3

3

3

3

12

103

Widiantini, Ni Ketut

3

3

3

3

12

104

Widya Savitri, Putu

3

3

3

3

12

105

Wira Diana Putra, I Made

3

3

3

3

12

106

Wiyasa, I Putu

3

3

3

3

12

N=

106

∑xi  =

384

340

106

400

1444

 

 

Berdasarkan tabl 4.1 di atas, perolehan nilai siswa adalah dua puluh dua  siswa memperoleh nilai 15, empat puluh dua siswa mendapat nilai 14, dua puluh dua siswa mendapat nilai 13, dan dua puluh siswa mendapat nilai 12.

 

 

 

4.2        Analisis Data Tes

         Analisis data dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai. Selanjutnya yang dilakukan yaitu (1) mengkonversikan skor mentah menjadi skor standar, dan (2) menentukan kreteria predikat.

4.2.1  Skor Mentah Dan Skor Standar Kemampuan Siswa Dalam Menceritakan Kembali Satua “I Belog Mantu”

Skor mentah yang diperoleh oleh siswa sesuai dengan tabel 4.1 di atas belum dapat menggambarkan secara jelas mengenai kemampuan siswa dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu”, atau belum dapat ditentukan predikat yang diperoleh siswa. Oleh karena itu skor mentah yang diperoleh siswa harus diubah menjadi skor standar seperti yang telah dijelaskan pada bab III. Untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar dalam penelitian ini digunakan norma absolut skala seratus (persentil).

Berdasarkan pedoman konversi yang telah dibuat pada bab III, maka dapatlah diketahui skor standar yang dicapai oleh masing-masing siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011. Untuk lebih jelasnya, kemampuan siswa dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu” dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 4.2  Skor Mentah Dan Skor Standar Yang   Dicapai Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011, Dalam Menceritakan Kembali  Satua     ” I Belog Mantu”

 

No.

Nama

Skor Mentah

Skor Standar

1

2

3

4

1

Amalika Gitamaharani Arya , Ni Made

15

93

 

1

 

2

 

3

 

4

2

Angkus Surawan, I Komang

15

93

3

Ari Saptarini, I Gusti Ayu

15

93

4

Astri Pradnyandari, Ni Putu

15

93

5

Astri Pradnyandari, Ni Putu

15

93

6

Ayu Cindy Pramitha Putri, Putu

15

93

7

Ayu Dwijayanti, Ni Putu

15

93

8

Ayu Imelda Sasiandari, Ni Putu

15

93

9

Ayu Pratiwi Maharani, Ni Made

15

93

10

Ayu Tri Martriani, Nyoman

15

93

11

Bintang Nararya Sena, I Gede

15

93

12

Cindy Arista, Putu

15

93

13

Dalam Saputra Jagadhita, I Made

15

93

14

Dian Utami Jelantik, Putu

15

93

15

Eka Dewi Kartika, Ni Putu

15

93

16

Hendy Setiawan, I Gst. Ag. Ngr

15

93

17

Indriana Triastuti

15

93

18

Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A.

15

93

19

Krisna Masyuda

15

93

20

Mariadnyani, Ni wayan

15

93

21

Mega Danu Ningrum

15

93

22

Nanda Pradnya Dianti, Dewa Ayu Putu

15

93

23

Nita Wiryandari, Ni Putu

14

87

24

Putri Ariyanti, Gst. A

14

87

25

Rachma Ayu Santyka Sasmitha

14

87

26

Rahayu Kusuma Pratiwi, Ni Putu

14

87

27

Reza Bregas Pangestu

14

87

1

2

3

4

28

Roshida Qurota Aini Islamiah

14

87

29

Sri Agustiani, Ni Luh

14

87

30

taharyanti, Gst. Ayu Putu

14

87

31

Wira Adi Kesuma, I Kadek

14

87

32

Yogi Aditya

14

87

33

Yuli Dwi Ayu Kartika

14

87

34

Yulia Hartanti Praptika, Putu

14

87

35

Yunita Sari , Ni Putu

14

87

36

Aditya Pratama, I Putu

14

87

37

Agung  Reza Pratama Putra, Putu

14

87

38

Agus Nanda Yudistira

14

87

39

Agus Nova Andreana

14

87

40

Agus Saputra Darma, I Wayan

14

87

41

Arya Putra Bharata, I Made

14

87

42

Ayu Devi Dharmayanti, Putu

14

87

43

Ayu Satriani, Ni Made

14

87

44

Ayu Sri Wahyuni, Ketut

14

87

45

Ayu Suasti Dewi, Ni Made

14

87

46

Bella Kharisma

14

87

47

Bobie Chriesna Kurniawan

14

87

48

Dedy Gunawan, I Wayan

14

87

49

Desy Rosita Dewi, Ni Made

14

87

50

Dewi Agustini, Putu

14

87

51

Dewi Anjani, Ni Ketut

14

87

52

Dian Novita Mayasari

14

87

53

Dini Kuswandari, Gusti Ayu

14

87

54

Diptha Nugraha R, Ida Bagus

14

87

55

Ika Septia Utami

14

87

1

2

3

4

56

Indah Windayani, Ni Luh Putu

14

87

57

Juliana Dewi, Ni Komang

14

87

58

Kriesna Widiastuti, I.A

14

87

59

Krisna Adi Astika, I Putu

14

87

60

Krisna Wijaya, I Nyoman

14

87

61

Mada Aditya Kurniawan

14

87

62

Oka Sudiana, Putu

14

87

63

Okta Viantini, Ni Luh Putu

14

87

64

Pradnya Paramitha, I Gst. Ayu

14

87

65

Pramanda Aninti, Ni Luh Gede

13

81

66

Purwa Darmaja,  Wayan Gede

13

81

67

Putri Awandari, Luh Putu

13

81

68

Ririn Purnami, Ni Made

13

81

69

Trinasari Putri, Komang

13

81

70

Wintara Wima Putra, Putu

13

81

71

Windu Dwi Widanta, I.B. Md

13

81

72

Wira Adi Suputra, I Putu Gede

13

81

73

Wiwin arlina , NiLuh putu

13

81

74

Wulandari, I.G.A

13

81

75

Yoga Artanaya,  Putu

13

81

76

Yoga Sumantara, I Wayan

13

81

77

Yudi Kesuma Putra, I Wayan

13

81

78

Yudi Perwana, I Wayan

13

81

79

Aditya Y.P, I Putu Gede

13

81

80

Bayu Santika, Putu

13

81

81

Deky Marcika, I Nyoman

13

81

82

Dewi Suryantari, Ni Putu

13

81

83

Dwi Cahya Kusuma, Made

13

81

1

2

3

4

84

Dwi Gunayasa, I Made

13

81

85

Dwi Pranata, I Made

13

81

86

Gita Pramana Putra, I Made

13

81

87

Guna Yulita, Ni Luh Ketut

12

75

88

Ida Bagus Weda Karanata

12

75

89

Kurnia Philyanti

12

75

90

Manu Mahari, Luh

12

75

91

Meilani Wulandari, Ni Putu

12

75

92

Metriyani, Ni Wayan

12

75

93

Mita Andharista, Ni Putu

12

75

94

Mulya Iswara, Ida Bagus

12

75

95

Nami Sawitri, Ni Wayan

12

75

96

Nita Rianti, Kadek

12

75

97

Oka Cahyadi, I Made

12

75

98

Putra Partha Nadi, I Made

12

75

99

Rama Udiyana, Ida Bagus

12

75

100

Rumadi Putra, I Made

12

75

101

Sri Murtini, Komang

12

75

102

Sri Rahayu, Ni Luh

12

75

103

Widiantini, Ni Ketut

12

75

104

Widya Savitri, Putu

12

75

105

Wira Diana Putra, I Made

12

75

106

Wiyasa, I Putu

12

75

N=

106

∑xi  =

1.444

8982

 

 

 

4.2.2        Menentukan Kreteria Predikat

Data berupa skor mentah, seperti yang disajikan dalam tabel 4.1 di atas, selanjutnya di olah untuk memperoleh skor standar dan kategori predikatnya. Hal ini di olah sesuai dengan teknik pengolahan data seperti pada bab III. Baerdasarkan langkah-langkah yang telah dilakukan di atas hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.3 Kreteria Predikat Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011, Dalam Menceritakan Kembali Satua “I Belog Mantu”.

 

No.

Nama Siswa

Skor Standar

Kreteria Predikat

(1)

(2)

(3)

(4)

1

Amalika Gitamaharani Arya , Ni Made

93

Baik Sekali

2

Angkus Surawan, I Komang

93

Baik Sekali

3

Ari Saptarini, I Gusti Ayu

93

Baik Sekali

4

Astri Pradnyandari, Ni Putu

93

Baik Sekali

5

Astri Pradnyandari, Ni Putu

93

Baik Sekali

6

Ayu Cindy Pramitha Putri, Putu

93

Baik Sekali

7

Ayu Dwijayanti, Ni Putu

93

Baik Sekali

8

Ayu Imelda Sasiandari, Ni Putu

93

Baik Sekali

9

Ayu Pratiwi Maharani, Ni Made

93

Baik Sekali

10

Ayu Tri Martriani, Nyoman

93

Baik Sekali

11

Bintang Nararya Sena, I Gede

93

Baik Sekali

12

Cindy Arista, Putu

93

Baik Sekali

13

Dalam Saputra Jagadhita, I Made

93

Baik Sekali

14

Dian Utami Jelantik, Putu

93

Baik Sekali

15

Eka Dewi Kartika, Ni Putu

93

Baik Sekali

16

Hendy Setiawan, I Gst. Ag. Ngr

93

Baik Sekali

1

2

3

4

17

Indriana Triastuti

93

Baik Sekali

18

Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A.

93

Baik Sekali

19

Krisna Masyuda

93

Baik Sekali

20

Mariadnyani, Ni wayan

93

Baik Sekali

21

Mega Danu Ningrum

93

Baik Sekali

22

Nanda Pradnya Dianti, Dewa Ayu Putu

93

Baik Sekali

23

Nita Wiryandari, Ni Putu

87

Baik

24

Putri Ariyanti, Gst. A

87

Baik

25

Rachma Ayu Santyka Sasmitha

87

Baik

26

Rahayu Kusuma Pratiwi, Ni Putu

87

Baik

27

Reza Bregas Pangestu

87

Baiki

28

Roshida Qurota Aini Islamiah

87

Baik

29

Sri Agustiani, Ni Luh

87

Baik

30

taharyanti, Gst. Ayu Putu

87

Baik

31

Wira Adi Kesuma, I Kadek

87

Baik

32

Yogi Aditya

87

Baik

33

Yuli Dwi Ayu Kartika

87

Baik

34

Yulia Hartanti Praptika, Putu

87

Baik

35

Yunita Sari , Ni Putu

87

Baik

36

Aditya Pratama, I Putu

87

Baik

37

Agung  Reza Pratama Putra, Putu

87

Baik

38

Agus Nanda Yudistira

87

Baik

39

Agus Nova Andreana

87

Baik

40

Agus Saputra Darma, I Wayan

87

Baik

41

Arya Putra Bharata, I Made

87

Baik

42

Ayu Devi Dharmayanti, Putu

87

Baik

43

Ayu Satriani, Ni Made

87

Baik

44

Ayu Sri Wahyuni, Ketut

87

Baik

1

2

3

4

45

Ayu Suasti Dewi, Ni Made

87

Baik

46

Bella Kharisma

87

Baik

47

Bobie Chriesna Kurniawan

87

Baik

48

Dedy Gunawan, I Wayan

87

Baik

49

Desy Rosita Dewi, Ni Made

87

Baik

50

Dewi Agustini, Putu

87

Baik

51

Dewi Anjani, Ni Ketut

87

Baik

52

Dian Novita Mayasari

87

Baik

53

Dini Kuswandari, Gusti Ayu

87

Baik

54

Diptha Nugraha R, Ida Bagus

87

Baik

55

Ika Septia Utami

87

Baik

56

Indah Windayani, Ni Luh Putu

87

Baik

57

Juliana Dewi, Ni Komang

87

Baik

58

Kriesna Widiastuti, I.A

87

Baik

59

Krisna Adi Astika, I Putu

87

Baik

60

Krisna Wijaya, I Nyoman

87

Baik

61

Mada Aditya Kurniawan

87

Baik

62

Oka Sudiana, Putu

87

Baik

63

Okta Viantini, Ni Luh Putu

87

Baik

64

Pradnya Paramitha, I Gst. Ayu

87

Baik

65

Pramanda Aninti, Ni Luh Gede

81

Baik

66

Purwa Darmaja,  Wayan Gede

81

Baik

67

Putri Awandari, Luh Putu

81

Baik

68

Ririn Purnami, Ni Made

81

Baik

69

Trinasari Putri, Komang

81

Baik

70

Wintara Wima Putra, Putu

81

Baik

71

Windu Dwi Widanta, I.B. Md

81

Baik

72

Wira Adi Suputra, I Putu Gede

81

Baik

73

Wiwin arlina , NiLuh putu

81

Baik

1

2

3

4

74

Wulandari, I.G.A

81

Baik

75

Yoga Artanaya,  Putu

81

Baik

76

Yoga Sumantara, I Wayan

81

Baik

77

Yudi Kesuma Putra, I Wayan

81

Baik

78

Yudi Perwana, I Wayan

81

Baik

79

Aditya Y.P, I Putu Gede

81

Baik

80

Bayu Santika, Putu

81

Baik

81

Deky Marcika, I Nyoman

81

Baik

82

Dewi Suryantari, Ni Putu

81

Baik

83

Dwi Cahya Kusuma, Made

81

Baik

84

Dwi Gunayasa, I Made

81

Baik

85

Dwi Pranata, I Made

81

Baik

86

Gita Pramana Putra, I Made

81

Baik

87

Guna Yulita, Ni Luh Ketut

75

Baik

88

Ida Bagus Weda Karanata

75

Baik

89

Kurnia Philyanti

75

Baik

90

Manu Mahari, Luh

75

Baik

91

Meilani Wulandari, Ni Putu

75

Baik

92

Metriyani, Ni Wayan

75

Baik

93

Mita Andharista, Ni Putu

75

Baik

94

Mulya Iswara, Ida Bagus

75

Baik

95

Nami Sawitri, Ni Wayan

75

Baik

96

Nita Rianti, Kadek

75

Baik

97

Oka Cahyadi, I Made

75

Baik

98

Putra Partha Nadi, I Made

75

Baik

99

Rama Udiyana, Ida Bagus

75

Baik

100

Rumadi Putra, I Made

75

Baik

101

Sri Murtini, Komang

75

Baik

102

Sri Rahayu, Ni Luh

75

Baik

1

2

3

4

103

Widiantini, Ni Ketut

75

Baik

104

Widya Savitri, Putu

75

Baik

105

Wira Diana Putra, I Made

75

Baik

106

Wiyasa, I Putu

75

Baik

 

 

4.3       Prosentase Tingkat Kemampuan Siswa

Berdasarkan hasil penilain terhadap siswa yang di pakai subjek penelitian sebanyak 106 siswa, maka persentasenya dapat dihitung sebagai berikut:

  1. Siswa yang memperoleh skor 93 yang dikatagorikan baik sekali berjumlah 22 siswa, persentasenya dapat dihitung seperti di bawah.

   22     x 100 %  = 21%

              106              

2.   Siswa  yang memperoleh skor 87 yang dikategorikan baik berjumlah 42 orang, presentasenya dapat dihitung seperti di bawah.

  42    x 100%  =  39%

             106

3.   Siswa  yang memperoleh skor 81  yang dikategorikan baik berjumlah 22 orang, presentasenya dapat dihitung seperti di bawah.

 22   x 100% =  21%

106

4.   Siswa yang memperoleh skor 75 yang dikategorikan baik berjumlah 20 orang, persentasenya dapat dihitung seperti di bawah.

 20    x 100% =  19%

106

Untuk lebih jelasnya perhitungan persentase di atas  dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.4 Persentase  Kemampuan Menceritakan Kembali Satua “I Belog Mantu”oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011

 

No.

Skor

Standar

Kriteria

Jumlah

Siswa

Persentase

Keterangan

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

1.

93

Baik sekali

22

21%

Tuntas

2.

87

Baik

42

39%

Tuntas

3.

81

Baik

22

21%

Tuntas

4.

75

Baik

20

19%

Tuntas

 

Jumlah

 

106

100%

 

 

Berdasarkan skor yang diperoleh oleh siswa sesuai tabel 4.4 di atas, bila dikaitkan dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011 yakni sebesar 75, maka secara keseluruhan dapat dikatakan tuntas. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil tes yang telah dilakukan tidak ada siswa yang memperoleh skor di bawah 75.

 

4.4              Skor Rata-Rata

Untuk mencari skor rata-rata Kemampuan Menceritakan Kembali Satua ”I Belog Mantu”oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011 digunakan rumus sebagai berikut.

            Me = ∑xi

                        n

Keterangan:

            Me = Mean

   = Apsilon (baca jumlah)

Xi  = Nilai X Ke -i sampai n

n    = Jumlah individu

(Sugiyono, 1999:42-43)

            Skor yang diperoleh oleh siswa berdasarkan tabel 4.2 di atas, diketahui bahwa ∑Xi = 1444, dan n = 106 orang. Dengan menggunakan rumus di atas skor rata-rata dapat dihitung sebagai berikut.

            Me = 1444

                       106

 

                  = 13,62

                   = 14 (dibulatkan)

Berdasarkan perhitungan di atas skor rata-rata yang diperoleh adalah 13,62 dibulatkan menjadi 14 dengan skor standarnya 87. Bila dikaitkan dengan kriteria predikat skor 87 berada pada kategori baik. Sesuai dengan itu dapat disimpulkan bahwa kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  tahun pelajaran 2010/2011 adalah dalam predikat baik, dengan skor rata-rata 87.

 

4.5              Simpulan Analisis Data Tes

Berdasarkan  Hasil pengumpulan data kemampuan menceritakan kembali satuaI Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011, dapat diketahui bahwa skor aspek ucapan adalah 3,7 dengan skor terttinggi 4, skor rata-rata yang diperoleh dari aspek tekanan adalah 3,20 dengan skor tertingginya 4, skor rata-rata yang diperoleh dari aspek intonasi adalah 3 dengan skor tertingginya 4, dan skor rata-rata dari aspek kelancaran adalah  3,8. Berdasarkan hasil ini dapat dilihat bahwa aspek intonasi memang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi diantara  ketiga aspek lainnya, dengan adanya perbedaan-perbedaan poin dari pencapain skor maksimal aspek intonasi.

4.6  Data Hasil Wawancara

Data yang diperoleh melalui metode wawancara juga meryupakan data pendukung untuk melengkapi informasi tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”. Wawancara dilakukan terhadap 8 orang siswa dengan rincian dua orang siswa yang mendapat nilai baik sekali, dan enam orang siswa yang mendapat nilai baik. Adapun nama-nama siswa siswanya yaitu:

1). Ni Made Amalika Gitamaharani.

2). I Gede Bintang Nararya Sena.

3). I Kadek Wira Adi Kusuma

4). Ni Putu Nita Wiryandari.

5). I.B.Made Windu Dwi Widanta.

6).Ni Putu Dewi Suryantari. 

7). I Komang Srimurtini.

8). Kurnia Philyanti.

 Hasil wawancara dari 8 siswa akan di paparkan sebagai berikut.

1). Nama subjek    : Ni Made Amalika Gitamaharani.

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       :  Dalam pemberian intonasi, karena saya belum begitu paham dengan irama suara dengan ketepatan jeda.

2. Nama subjek     : I Gede Bintang Nararya Sena.

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       :  Kesulitan dalam pemberian intonasi pada saat menceritakan satuaI Belog Mantu”sebab sulit untuk memahami irama suara dengan ketepatan jeda.

3. Nama subjek     : I Kadek Wira Adi Kusuma.

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       :  Kesulitan dalam pemberian intonasi karena bingung membedakan  tekanan dengan intonasi pada saat menceritakan satuaI Belog Mantu”.

4. Nama subjek     : Ni Putu Nita Wiryandari.

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       :  Kesulitan dalam pemberian intonasi, karena belum mengerti dengan jelas tentang perbedaan tekanan dan intonasi.

5. Nama subjek     : I.B.Made Windu Dwi Widanta.

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       :  Kesulitan dalam pengucapan, karena belum pasif berbahasa Bali dan belum paham betul dengan jelas tentang perbedaan tekanan dan intonasi.

6. Nama subjek     : Ni Putu Dewi Suryantari. 

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satua I Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       : Kesulitan dalam pemberian intonasi, karena masiih bingung tentang pemahaman intonasi dengan pengucapan, dan tekanan.

7. Nama subjek     : I Komang Srimurtini.

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       :  Kesulitan dalam menuangkan cerita dengan bahasa sendiri karena kurang pemahaman kosa kata bahasa Bali.

 8. Nama subjek    : Kurnia Philyanti.

Pertayaan     : ”Dalam menceritakan kembali satuaI Belog Mantu   kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!

Jawaban       :  Kesulitan dalam menuangkan cerita dengan bahasa sendiri karena tidak sering menggunakan bahasa Bali dalam keseharian.

 

4.7  Simpulan Analisis Data Hasil Wawancara

Berdasarkan data hasil wawancara dari delapan siswa tersebut, mereka menyatakan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” adalah dalam memberikan intonasi, memberikan tekanan, dan penuangan ucapan, kurang memahami kosa kata bahasa Bali dan  kurangnya penggunaan bahasa Bali.


BAB V

PENUTUP

 

            Bab ini merupakan bagian akhir dari keseluruhan laporan hasil penelitian. Dalam bab ini dikemukakan dua pokok bahasan, yaitu: (1) simpulan, dan (2) saran-saran tentang hasil penelitian kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  tahun pelajaran 2010/2011. Kedua hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

 

5.1       Simpulan

            Berdasarkan fakta-fakta yang ditenukan di lapangan dan sesuai dengan  hasil analisis data pada bab IV dapat disimpulkan bahwa berpredikat baik.

  1. Kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”  siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  tahun pelajaran 2010/2011  tergolong berpredikat baik. Hal ini dibuktikan dari nilai rata-rata skor standar yang diperoleh siswa adalah 87.
  2. Secara keseluruhan  Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar  Tahun Pelajaran 2010/2011 ternyata berhasil (tuntas) dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian ternyata tidak ada siswa yang memperoleh nilai di bawah 75, sesuai dengan KKM yang ditentukan yakni sebesar 75.
  3. Kesulitan-kesulitan yang dialami siswa SMA Negeri 8 Denpasar dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” yaitu terletak pada aspek intonasi. Hal ini didukung oleh data hasil wawancara dan malalui analisis data tes yang merupakan hasil dari  pengumpulan data tes.

 

5.2  Saran-Saran

Berdasarkan simpulan yang dikemukakan di atas, berikut ini disampaikan beberapa saran untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar, dalam menceritakan kembali suatu satua. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Mengingat hasil penelitian yang telah dilakukan tergolong berpredikat baik  dalam menceritakan kembali satua berbahasa Bali, siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar, diharapkan lebih meningkatkan prestasinya untuk mengangkat citra lembaga (sekolah) dalam dunia pendidikan demi pengembangan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
  2. Guru bidang studi bahasa daerah Bali harus lebih mengintensifkan pembelajaran menceritakan kembali suatu satua berbahasa Bali , sehingga nantinya siswa terbiasa dalam bercerita menggunakan bahasa Bali dan juga untuk melestarikan cerita-cerita khas Daearah Bali.
  3. Guru bidang studi bahasa daerah Bali harus lebih mengintensifkan pembelajaran menggunakan bahasa Bali serta melatih siswa supaya bisa dan biasa  menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar.
  4. Karena subjek dan objek yang diteliti masih terbatas, maka disarankan kepada mereka yang tertarik meneliti masalah ini agar mengadakan penelitian ulang dengan subjek dan objek yang lebih luas lagi.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Antara, I Gusti Putu. 1981. Teori Sastra materi Pengetahuan Pengajaran Sastra. Indonesia. Singaraja: Fakultas Keguruan Universitas Udayana.

Arikunto, Suharsimi. 1983. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Aminudin. 1987. Apresiasi Sastra. Jakarta Gramedia

Baribin. 1990. Memahami Karya Sastra Fiksi. Surakarta: Widya Duta.

Barerett, Harold. 1996. Retorika Seni Tutur dan Bertutur. Bandung: Cv Alfabeta.

Depdikbud. 1975. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Depdikbud.

Depdikbud. 2005. Kesusastraan Bali. Depdikbud Propinsi Bali.

Effendi. 2000. Dalam Aminuddin “Apresiasi Kesusastraan”. Jakarta Gramedia

Esten, Mursal. 1984. Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah sastra. Yogyakarta: Muhammadiyah Iniversity Press.

Gunarta, I Wayan. 2007. “Evaluasi Hasil Belajar”. Denpasar: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI Bali.

Halim. 1981. Kajian Budaya Daerah. Jakarta Bumi Aksara.

Homby dalam Sayuti (2000:6) Leksi Swadari”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Panji Semirang Siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar Tahun Pelajaran 2008/2009”.

Keraf, Gorys. 1991. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kerf, Gorys. 1984. Kompesisi Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah

Natawijaya.1979. Apresiasi Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Oka, I Gusti Ngurah. 1976. MOdul Pembelajaran Retorika”. Denpasar: FDHA IHDN.

Luxemburg, dkk. 1986. Pengantar Ilmu sastra. Semarang:Gramedia.Hal:9

Swadari, Leksi. 2009. ”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Panji Semirang Siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar”. Skripsi untuk meraih gelar serjana Pendidikan, Denpasar, IKIP PGRI Bali.

Sukada. 1987. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Malang.

Sumardjo, Jakob. 1983. Apresiasi Sastra. Jkarta: Gramedia.

Suroto. 1993. Peristiwa Sastra Indonesia. Surakarta: Widya Duta.

Nasir, Muhamad, 1988. Metode Penelitian.  Jakarta: Ghalia Indonesia.

Netra, Ida Bagus. 1997. ”Penuntun Menyusun Skripsi”. Singaraja: Biro Penerbitan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Udayana.

Nataijaya. 1980. Kesusastraan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.

Rindjin, Ketut, 1980. ”Petunjuk Menyusun Karangan Ilmiah”. FKIP Unud. Singaraja.

Suandi, Gunartha. 2006. ”Buku Pelajaran Bahasa Bali Puspa Sari 2 Untuk Kelas II SMP”.

Sastrowardoyo, Subagyo. Kesusastraan Indonesia. Bandung: Nurcahaya.

Suwondo, Tirto. “Analisis Struktural Saslah satu Model Pendekatan dalam  Penelitian sastra” , dalam Metode Penelitian sastra, dalam Jabrohim  (ed). Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Sugita, I Wayan. 2009. ”RETORIKA (Tutur dan Bertutur)”.Denpasar: FDHA IHDN.

Sundariti. 2009.  Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Rijal Siswa Kelas VII Madrasah Tsanawiah (MD) Miftatul Ulum Denpasar”. Skripsi untuk meraih gelar serjana Pendidikan, Denpasar, IKIP PGRI Bali.

 Sudjiman(1981:2) dalam skripsi Swadari”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Panji Semirang Siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar”. Skripsi untuk meraih gelar serjana Pendidikan, Denpasar, IKIP PGRI Bali.

Sugiyono.1999. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Bina Karya.

Suroto. 1993. Kajian Sastra Fiksi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tarigan, Henry Guntur. 1971. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

The Liang gie (1980:27) dalam skripsi SundaritiKemampuan Menceritakan Kembali Dongeng ”Rijal” Siswa kelas VII Madrasah Tsanawiah (MD) Miftatul Ulum Denpasar Tahun Pelajaran 2008/2009”.

Tushi Eddy. 1991. Mengenal Sastra Bali Modern. Jakarta: Balai Pustaka.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Solo: Universitas Sebelas     Maret Press. Hal: 56 – 60.

Wisnu, I Wayan.2007. ”Sejarah Kajian Bahasa Bali”. Denpasar: IKIP PGRI Bali.

Yudiantara, I Made Dkk. 1996. Sosok dan Cara Kerja Penelitian Kumulatif. Bandung : BKFI

 

 

        

 


Posting Komentar

0 Komentar

SELAMAT DATANG DAN SELAMAT MEMBACA

SELAMAT DATANG DAN SELAMAT MEMBACA