BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat
komunikasi dalam berinteraksi melakukan aktivitas dalam menjalin suatu
hubungan. Bahasa memiliki kekuatan pemersatu dan pembeda, di suatu tempat, kita
akan merasa akrab dengan pengguna bahasa yang sama, sebaliknya kita juga merasa
berbeda jika berada disekitar pengguna bahasa yang berbeda. Terlepas dari
hal-hal tersebut, bahasa sebagai media ekspresi sastra memuat pemikiran penulis
atau sastrawan, disampaikan kepada pembaca atau penikmat. Secara pragmatis
pembaca kemudian memaknainya sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa
daerah di Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya.
Bahasa Bali merupakan bahasa ibu bagi
sebagian besar masyarakat bali dipakai secara luas sebagai alat komunikasi
dalam berbagai kehidupan masyarakat di Bali. Di samping itu Bahasa Bali juga
merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang luas di
Bali. Dalam kaitannya dengan politik bahasa nasional, bahasa Bali juga
berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah (Bali), (2) lambang identitas
bahasa nasional, (3) sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat,
(4) pendukung bahasa nasional, (5) bahasa pengantar disekolah dasar pada tingkat
permulaan, dan (6) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan Daerah Bali
(Halim, 1981:151).
Sejalan dengan itu pemerintah kota
Denpasar Bali sudah menetapkan bahasa Bali sebagai pelajaran wajib dalam
kurikulum muatan lokal dari SD sampai dengan SMA/SMK. Bahasa Bali sebagai
kurikulum muatan lokal di tetapkan melalui SK No. 22/119C/Kep/1.94 oleh Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Provinsi Bali. Berdasarkan keputusan
pemerintah, maka disetiap jenjang pendidikan di Bali, mulai dari sekolah dasar
(SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) wajib memberikan pengajaran bahasa,
aksara, dan sastra Bali yang dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal. Dalam
kurikulum muatan lokal Bahasa Bali tahun 2004 khususnya untuk SMA/SMK,
mencantumkan standar kompetensi pengajaran Bahasa Bali yang meliputi semua
aspek kebahasaan dan kesusastraan. Berkaitan dengan penelitian ini , aspek
kesusastraan yang dimaksud adalah menceritakan kembali suatu cerita secara
lisan.
Keterampilan menceritakan
kembali suatu isi cerita merupakan salah satu dari beberapa keterampilan
mengapresiasikan bahasa yang memungkinkan pencerita terbawa dalam suasana dan
gerak hati dalam karya sastra tersebut. Untuk itu seorang siswa perlu dituntut
melakukan banyak latihan dan banyak membaca agar mampu meningkatkan apresiasi
tentang sastra tersebut. Dimana siswa belajar bahasa pada dasarnya didahului
dengan proses mendengar/menyimak, membaca, menulis dan berbicara kemudian
berlanjut kepada pemahaman tentang apa yang telah didengar/disimak, ataupun yang
dibaca.
Setelah
terjadi suatu pemahaman baik dari yang disimak ataupun dibaca maka ketrampilan
menceritakan kembali tentang apa yang didengar ataupun yang dibaca merupakan
faktor penting bagi keberhasilan siswa dalam belajar memahami suatu cerita atau
wacana. Siswa akan mampu menceritakan suatu cerita yang telah dibaca sesuai
pemahamannya tentang keseluruhan isi atau unsur cerita tersebut. Ditinjau dari
unsur-unsur yang membangunnya , maka cerita itu dibangun oleh dua unsur yaitu:
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur batin suatu karya
sastra yang terdapat di dalam karya sastra yang membangun keberadaan karya itu,
dalam hal ini adalah cerita. Unsur-unsur tersebut yaitu tema, amanat, alur,
penokohan, sudut pandang, dan setting atau latar. Sedangkan unsur ekstrinsik
adalah unsur pembangun yang ada diluar cerpen yang meliputi: latar belakang,
proses kreatif pengarang, lingkungan sosial budaya pengarang dan sebagainya.
Menceritakan
kembali suatu cerita juga merupakan faktor penting bagi keberhasilan siswa dalam meningkatkan pemahaman tentang padanan
kosa kata yang mungkin jarang digunakan dalam kehidupan kesehariannya. Para
penutur atau pencerita biasanya memodifikasi teknik penyampaiannya agar mudah
dipahami, lebih indah dan lebih khas. Dari segi interaksinya juga terdapat
perbedaan derngan sastra tulis, dalam proses penikmatan sastra secara lisan,
penuturnya memiliki ciri khas cerita yang unik, roman wajah yang agak tegang
ketika ceritanya sampai pada klimaks, gerakan tangan dan intonasi turut
menuntun perasaan dan pemikiran penikmat atau pendengar.
Pengaruh
cerita sebagai kisah misteri ditonjolkan dengan pilihan leksikal yang dibuat
oleh pencerita, yang menggunakan istilah-istilah yang secara sistematis
berkaitan. Misalnya, nomina yang sering digunakan, yang ternyata penting bagi
pendengar, mengacu pada lingkungan fisik cerita itu. Disinilah seorang
siswa/pencerita harus bisa menghayati atau memahami betul isi cerita sehingga
bahasa yang dugunakan menjalin suatu cerita secara lisan mampu menarik simpati
pendengar.
Pada
kesempatan ini penulis akan meneliti dengan menggunakan objek satua Bali yang berjudul ”I
Belog Mantu”. Pemilihan satua ini sangat penting bagi penulis. Bila kita
menyimak satua Bali tersebut
sesungguhnya bukan saja merupakan satu hasil karya sastra yang tinggi, akan
tetapi lebih dari pada itu dengan satua Bali
akan menjadi sumber filsafat hidup yang tidak habis-habisnya, ia juga akan
menjadi pedoman hidup dalam membina kehidupan masyarakat Bali khususnya bagi
anak-anak dan generasi muda tentang pemahaman nilai-nilai agama, etika,
estetika dan juga dapat menjadi tuntunan hidup dalam pembentukan karakter
pribadi serta budi pekerti. Dengan kehadiran satua-satua Bali ini nantinya diharapkan dapat memberikan hasil
nyata terhadap perkembangan satua Bali dan dijadikan suatu bahan untuk
menggalakkan masatua Bali baik dikalangan masyarakat maupun disekolah-sekolah.
Sehingga akan dapat pula membangkitkan minat siswa dan generasi muda untuk
lebih mengenal sekaligus mencintai budaya masatua
Bali.
Secara
operasional menceritakan kembali satua
merupakan keterampilan berbicara/bercerita yang menduduki posisi terpenting
dalam tataran pemerolehan bahasa khususnya dalam berkomunikasi secara lisan.
Oleh karena itu penguasaan keterampilan berbicara dengan berbagai bentuknya
menjadi suatu yang penting untuk dikuasai, terutama bagi siswa dalam
pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Purwo dalam
Kursus (2008:2) yang menyatakan bahwa dalam tujuan pembelajaran berbicara,
siswa dituntut untuk trampil berbicara seperti mengajukan pertayaan atau
pendapat, berpidato serta menceritakan kembali cerita secara lisan.
Berkaitan
dengan hal tersebut penulis terdorong untuk mengambil judul penelitian yang
berkaitan dengan keterampilan berbicara yaitu kemampuan menceritakan kembali satua “I Belog Mant” siswa Kelas XI SMA Negri 8 Denpasar tahun pelajaran
2010/2011”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini, yaitu:
- Bagaimanakah
kemampuan menceritakan kembali satua
”I Belog Mantu” oleh siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2010/2011?”
- Kesulitan-kesulitan
apakah yang dialami dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” oleh siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2010/2011?”
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian kemampuan
menceritakan kembali satua ”I Belog
Mantu” oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011”
dapat dibagi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk memberikan sumbangan pikiran kepada dunia pendidikan di tingkat
SMA dalam bidang pengajaran bahasa daerah Bali khususnya dalam pengajaran dalam
keterampilan berbicara.
1.3.2
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini
diharapkan dapat memperoleh data dan informasi untuk mengetahui:
1. Kemampuan menceritakan
kembali satua ”I Belog Mantu” oleh
siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.
2. Kesulitan-kesulitan
yang dialami dalam menceritakan kembali satua
”I Belog Mantu” oleh siswa
Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapaun manfaat yang diharapkan dari penelitian yang
berjudul kemampuan
menceritakan kembali satua ”I Belog
Mantu” oleh siswa Kelas XI SMA Negeri
8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011” yaitu manfaat
teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1
Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
kependidikan, literatur, dan ikut serta
mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengajaran bahasa daerah Bali
pada khususnya.
2. Sebagai informasi yang dapat digali dalam
penelitian ini hendaknya dapat memperkuat dasar-dasar pengajaran kesusastraan
Bali di sekolah atas bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.
3. Menambah kasanah kesusastraan daerah dan
memperkaya khasanah kesusastraan nasional.
1.4.2
Manfaat Praktis
1. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa khususnya dari segi aspek berbicara.
2. Bagi Guru
Melalui penelitian ini di
harapkan dapat memberi masukan atau sebagai umpan balik terhadap siswa dalam menerapkan metode
pengajaran yang tepat.
3. Bagi Penyusun
Bahan Ajar
Hasil penelitian ini di
harapkan bagi penyusun bahan ajar akan
mampu menambah dan mengembangkan bahan ajar di dalam proses belajar mengajar
khususnya dalam pelajaran bahasa Bali.
4.
Bagi Pengembang Kurikulum
Dapat dijadikan
pedoman dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya dan pelajaran berbicara bidang studi bahasa Bali khususnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memberikan arah
pembahasan dalam penelitian ini dipandang perlu diberikan kejelasan
ruang lingkup penelitian. Mengingat dengan ruang lingkup bahasa Bali yang
begitu luas dan keterbatasan kemampuan penulis maka penulis hanya meneliti
untuk mengetahui kemampuan menceritakan kembali satua “I Belog Mantu”
siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2010/2011” serta untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2010/2011, yang meliputi: (1) Ucapan,
(2) Tekanan , (3) Intonasi, dan (4) Kelancaran.
1.6
Asumsi
Asumsi adalah suatu
kebenarannya diterima tanpa adanya pembuktian. Sebagaimana pendapat para ahli
mengatakan bahwa : ”Suatu yang diasumsikan adalah suatu yang tidak diselidiki”
(Rindjin, 1980: 19). Sedangkan The Liang Gie mengatakan bahwa : ”Asumsi adalah
keterangan-keterangan yang kebenarannya diterima tanpa pembuktian lebih lanjut
untuk dasar awal atau pegangan dalam suatu perbincangan” (The Liang Gie, 1980 :
27).
Sebagai landasan berpijak
dalam hal penelitian, maka peneliti menggunakan asumsi sebagai berikut:
1.
Materi
pembelajaran bercerita sudah sesuai dengan kurikulum bahasa Bali yang berlaku.
2.
Guru
sebagai pengajar mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membuat perencanaan,
untuk melaksanakan dan untuk menilai serta memberikan pertimbangan atas tingkat
keberhasilan pembelajaran tersebut khususnya dalam meningkatkan mutu berbicara
siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011.
3.
Perbedaan
jenis kelamin tidak berpengaruh dalam penelitian.
4.
Guru
yang mengajar kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 sudah
memiliki kewenangan mengajar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Secara
umum kajian pustaka memuat beberapa bahan pustaka baik berupa buku; majalah;
makalah; dan laporan penelitian yang memuat kajian-kajian tentang kajian
penelitian yang relevan isinya dengan penelitian yang baru di buat. Dengan
melihat pustaka sebelumnya penulis dapat memaparkan persamaan dan perbedaan
atas penelitian yang dilakukan. Dalam kajian pustaka ini akan dikemukakan
beberapa penelitian sebatas yang berkaitan dengan kemampuan menceritakan satua ”I Belog Mantu”, yaitu:
Pertama, penelitian yang
dilakukan oleh Sundariati (2009), dengan judul
yaitu kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Rijal” siswa Kelas VII Madrasah Tsanawiah (MD) Miftatul Ulum
Denpasar tahun pelajaran 2008/2009. Penenelitiannya mengkaji tentang dongeng ”Rijal”, dimana ceritanya berbahasa
Indonesia dan bukan cerita berbahasa Bali serta penelitiannya itu menggunakan
tes tulis.
Kedua, penelitian yang
dilakukan oleh Leksi Swadari, dengan judul kemampuan menceritakan kembali
dongeng ”Panji Semirang” siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar
tahun pelajaran 2008/2009. Di dalam skripsi itu dipaparkan tentang cerita
berbahasa Indonesia untuk tingkat SD bukan cerita berbahasa Bali untuk
tingkat SMA, dan penelitiannya juga dilakukan dengan tes
tulis.
Dari kedua penelitian di atas tampak
jelas ada perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.
Perbedaannya tampak pada subjek maupun objek penelitian, yang mana peneliti
pertama melakukan penelitian terhadap siswa
madrasah dan peneliti kedua di SD. Objek penelitian dari peneliti pertama
adalah kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Rijal”, peneliti kedua tentang
kemampuan menceritakan kembali dongeng ”Panji Semirang”. Kedua skripsi di atas instrumennya menggunakan tes
tulis. Sementara penelitian ini
mengambil penelitian di SMA dengan objek penelitian kemampuan
menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” serta instrumennya adalah
berupa tes tindakan. Sedangkan Persamaan kedua skripsi di atas dengan penelitian ini sangatlah jelas yaitu
sama-sama mengukur kemampuan siswa tentang pemahaman cerita.
Berdasarkan
perbedaan dan persamaan yang di paparkan di atas, jelaslah bahwa penelitian ini
bukan merupakan plagiat atau hasil jiplakan.
2.2 Landasan
Teori
Dalam
setiap penelitian memerlukan suatu landasan teori, yaitu untuk mempelajari dan
memahami fakta-fakta tertulis baik berupa buku, surat kabar, majalah, dan
bulletin. Landasan teori merupakan seperangkat proposisi yang berhubungan
secara logis dan sistematis, yang menggambarkan dan menjelaskan seperangkat
gejala-gejala empiris, dimana landasan teori dalam hal ini digunakan untuk
mendukung proses penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian menceritakan
satua ”I Belog Mantu”.
Sehubungan dengan penulisan karya
tulis ini menggunakan beberapa landasan teori untuk mempermudah dalam mengkaji
suatu masalah. Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
:
2.2.1 Apresiasi
Sastra
Sudjiman (1981:8) menyebutkan bahwa “Apresiasi adalah penghargaan (terhadap
karya sastra) yang didasarkan pada pemahaman”. Dalam mengapresiasi sastra,
seseorang yang mengalami (dari hasil sastra itu) pengalaman yang telah disusun
oleh pengarangnya. Hal ini dapat terjadi oleh adanya daya simpati yang
memungkinkan pembaca terbawa dalam suasana dan gerak hati dalam karya sastra
itu. Jika dalam mengapresiasi sastra, kita mengenali nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra dalam kegairahan simpati maka kita akan dapat
merasakan kenikmatannya. Secara leksikal, istilah appreciation ‘apresiasi’
mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,
penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian.
Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran
kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi dalam
Aminuddin 2000:35). Kegiatan mengapresiasi sastra mempunyai manfaat yang lebih
tinggi daripada hanya sekadar memahami. Kegiatan mengapresiasi bukan saja untuk
menambah pengetahuan pembaca, melainkan sekaligus untuk memperpeka perasaan
pembaca. Untuk mengapresiasi karya sastra yang sebenar-benarnya, pembaca harus
mengerahkan seluruh daya yang ada pada dirinya, baik daya pikir maupun daya
sentuh perasaan. Keterlibatan pembaca untuk meleburkan diri dalam jalinan
cerita yang ada dalam karya sastra menjadikan apa yang dilukiskan oleh
pengarang seolah-olah menjadi milik pembaca. Berdasarkan pendapat di atas,
jelas bahwa mengapresiasi karya sastra merupakan bentuk kegiatan menikmati dan
memahami karya sastra secara mendalam terhadap gagasan-gagasan yang disampaikan
pengarang lewat karya sastranya dengan tujuan untuk menumbuhkan kepekaan kritis
dan penghargaan pembaca terhadap karya sastra itu sendiri.
Kegiatan apresiasi sastra sebagai suatu proses apresiasi melibatkan tiga
unsur inti yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, (3) aspek evaluatif
(Squire dan Taba dalam Aminuddin, 2000:34). Aspek kognitif berkaitan dengan
keterlibatan intelek pembaca dalam usaha memahami unsur-unsur sastra yang
bersifat objektif. Unsur dalam karya sastra yang bersifat objektif disebut
dengan unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks
sastra yang secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri. Aspek
emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati
unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca sehingga dapat memungkinkan
pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat sesuai
dengan hakikatnya. Hakikat sastra adalah karya imajinatif yang bermediakan
bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan (Wellek dan Warren dalam
Sayuti, 2000:6). Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan
penilaian terhadap baik, buruk, indah, tidak indah, sesuai atau tidak sesuai
serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya
kritik, tetapi secara personal dimiliki oleh pembaca (Aminuddin, 2000:35).
Dalam kegiatan apresiasi karya sastra yang dilakukan dengan sungguh sungguh,
akan diperoleh kenikmatan.
Dengan menikmati karya sastra, kita akan memperoleh kepuasan karena kita
dapat menikmati sesuatu yang bernilai dalam karya sastra yang kita baca. Untuk
dapat menikmati karya sastra dengan sebenar-benarnya, terlebih dahulu kita
mamahami keadaan apresiasi itu sendiri. Keadaan apresiasi pada kenyataannya
bertingkat-tingkat, Baribin (1990:15-16) mengemukakan tingkat-tingkat apresiasi
sastra, yaitu:
a). Apresiasi tingkat pertama terjadi bila
seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya sastra. Ia terlibat
secara intelektual, emosional, dan imajinatif dengan karya sastra itu.
b). Apresiasi tingkat kedua terjadi bila daya
intelektual pembaca bekerja lebih giat. Pada tingkat ini pembaca mulai bertanya
pada dirinya sendiri tentang makna pengalaman yang didapatnya dari karya sastra
itu.
c). Pada tingkat selanjutnya pembaca menyadari
bahwa suatu karya sastra adalah gejala yang bersifat historis. Karya sastra
diciptakan tidak lepas dari faktor tempat dan waktu bahkan merupakan ungkapan
dari jalinan pengaruh faktor itu berlaku terhadap jiwa dan kepribadian
sastrawan.
Berdasarkan tingkat-tingkat apresiasi di atas, Baribin mendefinisikan
apresiasi sastra sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sadar, dan bertujuan
untuk mengenal dan memahami dengan tepat nilai sastra, untuk menumbuhkan
kegairahan kepadanya dan memperoleh kenikmatan daripadanya (1990:16). Kegiatan
apresiasi sastra dilakukan untuk memberikan bekal pengalaman berkenaan dengan
sastra. Pengalaman dengan
sastra itu menimbulkan perubahan dan penguatan tingkah laku. Jadi, kegiatan
apresiasi akan memberikan pengalaman belajar apresiasi yang hasilnya terdapat
perubahan atau penguatan tingkah laku terhadap nilai yang terkandung dalam
karya sastra.
Aminuddin (2000:38) mengatakan bahwa untuk
mengapresiasi cipta sastra, pembaca pada dasarnya dipersyaratkan memiliki bekal
awal yaitu (1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan
menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra, (2) pemilikan
pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan,
(3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur-unsur
intrinsik cipta sastra.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut maka
penulis menyimpulkan bahwa apresiasi sastra berupa prosa atau cerita adalah
usaha atau kegiatan mengenal karya sastra berbentuk prosa atau cerita, dengan
sungguh-sungguh dengan cara memahami isi cerita sehingga kita dapat
menikmatinya. Berkaitan dengan apresiasi sastra tersebut cerita ”I Belog Mantu” merupakan salah satu
apresiasi sastra yang merupakan karya sastrawan Bali yang mengungkap suatu
cerita yang menarik dengan cerita yang berbaur dengan kritik etika dan lelucon.
2.2.1.1 Manfaat Apresiasi Sastra
Menurut Aminudin (1987: 62), menyatakan
bahwa manfaat apresiasi sastra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) manfaat
secara umum, dan (2) manfaat secara khusus. Secra umum manfaat apresiasi sastra
adalah untuk dapat mengisi diri dalam keadaan waktu luang, sehingga mampu
mengurangi rasa jemu serta secara rohani dan batiniah akan dapat merubah sikap/prilaku masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Sementara secara khusus apresiasi sastra bermanfaat: (a)
menambah pengetahuan pembaca tentang kosa kata, (b) dengan membaca karya sastra
yang baik sangat berguna untuk pembentukan, kepribadian/moral siswa, (c)
memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan,
(d) memperdalam wawasan atau pandangan kehidupan sebagai salah satu unsur yang
berhubungan dengan pemberian arti maupun nilai kehidupan manusia itu sendiri.
2.2.1.2 Tahapan-Tahapan Apresiasi Sastra
Pelaksanaan apresiasi sastra bisa
berlangsung dengan baik serta mendapatkan hasil
yang optimal bila kegiatan itu dilaksanakan secara bertahap dan terpadu.
Berkaitan dengan itu apresiasi dapat dibagi menjadi lima tahapan, diantaranya:
a. Tahap Penikmatan
Tahapan penikmatan tentang apresiasi sastra
menurut Suroto (1993:197) menyatakan, seseorang baru dapat melakukan tindakan
membaca, melihat, menonton/mendangarkan suatu karya seni/sastra. Hal tersebut
tidak jauh beda dengan pendapat yang dikemukakan Natawijaya (1980: 2) yang
menyatakan, bahwa seseorang hanya bersifat seperti penonton yaitu merasakan
kesenangan. Dimana rasa senang itu muncul dalam diri seseorang karena
penikmatan tersebut.
Kedua pendapat di atas tentang penikmatan karya
sastra, dapat dilihat persamaannya yaitu
sama-sama seperti penonton. Jika demikian, seseorang yang tergolong berada pada
tahap penikmatanhanya dapat merasakan senang dan tidak senang. Dalam hal ini
seseorang belum dapat memahami sepenuhya karya sastra tersebut. Sebagai contoh,
jika menonton suatu film yang bahasanya tidak kita pahami, tetapi kita menyukai
aktor film tersebut maka kita hanya bisa merasakan senang saja.
b. Tahap
Penghargaan
Seseorang dalam tahapan ini melakukan tidakan dengan melihat
kebaikan, manfaat atau nilai karya seni/satra itu. Sangat dimungkinkan sesudah
membaca atau mendengar karya sastra, penikmat merasakan adanya manfaat seperti
rasa senang, memberikan hiburan, kepuasan, ataupun mampu memperluas pandangan
dan wawasan hidupnya (Suroto, 1993:158).
Antara (1985:10) menyatakan” Pada
tahapan pengargaan ini siswa diajak untuk setengah aktif yaitu bagaimana
menimbulkan rasa kekaguman dan rasa senang. Pemberian rasa pujian, kekaguman
dan puasnya kepada karya sastra sempurna, bernilai, bermanfaat, dan telah
merasuk dalam diri siswa. Kadang-kadang pada siswa timbul rasa ingin memiliki
atau mempunyai dan menguasai karya sastra tersebut”.
Berdasarkan dari kedua pendapat di atas, dapat dikatakan pada tahapan
pengargaan ini seseorang tidak lagi terbatas pada perasaan senang atau tidak
senang, tetapi sudah mulai bertindak untuk memperoleh kebaikan, manfaat atau
nilai karya sastra tersebut. Manfaat itu dapat berupa perasaan senang, memberi
hiburan, kepuasan, atau memperluas pandangan /wawasan hidup.
c. Tahapan Pemahaman
Pada tahapan pemahaman, menutut Suroto (1993:158) penikmat melakukan
tindakan meneliti, menganalisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya, serta
berusaha menyimpulkannya. Disini penikmat sudah mulai aktif meneliti dan menganalisis
setiap komponen yang membentuk karya tersebut. Akhirnya ia akan sampai pada
sebuah kesimpulan apakah karya sastra tersebut baik atau tidak, sekedar sebagai
hiburan atau lebih dari itu.
Berdasarkan pemahaman terhadap karya
sastra itu, si penikmat betul-betul
selektif meneliti unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik suatu karya sastra
sehingga ia mampu memahami dan mengerti akan segala sesuatu yang terkandung di
dalamnya.
d. Tahap Penghayatan
Tahapan penghayatan merupakan
tahapan pembaca menganalisis lebih lanjut karya sastra tersebut, mencari
hakikat atau makna suatu karya sastra serta argumentasinya, membuat penapsiran
dan menyusun argumen berdasarkan analisis yang dibuatnya. Penikmat berusaha menjelaskan dengan
sejelas-jelasnya hasil analisis tersebut, mengapa alur dan unsur-unsur yang
lain demikian. Alasan-alasan yang dikemukakan tentu disertai bukti agar argumen
yang dikemukakannya dapat diterima secara akal sehat (Suroto, 1993:158).
Sementara Antara (1985:10)
mengatakan, bahwa timbulnya rasa pemahaman terhadap unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik menimbulkan kemampuan menghayati dari aspek yang terkecil dari karya
sastra tersebut misalnya: tema, bentuk, otograpi, mengkritik, dan membandingkan
dengan lainnya.
Sesuai dengan pendapat di atas, pada
tahapan ini penikmat mencari hakikat atau makna suatu karya sastra serta
argumentasinyna, membuat penapsiran, menyusun argumen berdasarkan analisis yang
dibuatnya, menyakini apa dan bagaimana hakekat karya sastra itu.
e. Tahap Implikasi atau Penerapan.
Menurut Natawijaya ( 1979:3),
tahapan ini bersifat memperoleh daya yang tepat guna, bagaimana dan untuk apa
karya sastra diarahkan kepada suatu manfaat praktis, sesuai dengan tingkat
penghayatan terhadap suatu cipta sastra. Pada tahapan ini diperoleh maksud
untuk membuka pandangan sehingga melahirkan hal-hal yang baru.
Melalalui penghayatan tersebut, pada
tahapan implikasi akan timbul kesadaran tentang kebenaran yang diungkapkan oleh
sastrawan pada karya sastranya, kemudian menimbulkan ide-ide baru untuk
mengasilkan sebuah kreativitas berupa penguasaan cipta sastra sehingga
melahirkan suatu yang baru. Karya sastra
tersebut akan diarahkan untuk manfaat praktis berupa kepentingan sosial,
politik dan budaya yang tepat guna.
Jika dilihat berdasarkan tahapan-tahapan apresiasi di atas, maka penelitian
ini jelas termasuk dalam tahap Implikasi atau penerapan. Dalam hal ini siswa
diminta menceritakan kembali suatu cerita yang telah dibaca, dimana siswa
setelah membaca cerita ditutut bisa mengungkap cerita melalui menceritakannya
kembali. Tentunya si pencerita tersebut menggunakan pemahaman, penghayatan dan
penguasaan cerita sehingga tidak diragukan lagi, siswa akan mampu meceritakan
cerita itu dengan menggunakan bahasanya sendiri.
2.2.2
Satua
(Cerita)
2.2.2.1
Pengertian satua
Kata “satua” mengandung arti ”cerita” (Dinas Pendidikan Dasar Provensi
Dati I Bali, 1990:616). Satua
merupakan bagian dari prosa Bali tradisional yang disampaikan secara oral.
Prosa Bali tradisioanal umumnya di kembangkan secara lisan dan tidak memiliki
pengarang (anonim). Satua merupakan
sastra bali Purwa yang di sampaikan secara oral dalam bahasa Balinya disebut
dengan istilah “pegantian” dalam bentuk prosa (bagus,1997:2). Orang tua-tua di
bali menggunakan satua sebagai media pendidikan terhadap keturunannya. Walaupun
pendidikan yang dimaksud adalah non formal. Karya sastra ini diwariskan melalui
oral secara turun-temurun. Dalam penyampaiannya dicirikan dengan kalimat awal
seperti “ada reke satua” (ada konon
cerita); ‘ada tutur katuturan satua”
(ada petuah cerita). Berdasarkan proses penyampaiannya itu, satua ini mempunyai
gaya khusus atau gaya bertutur cerita.
2.2.2.2 Unsur-Unsur yang Membangun
Satua
Karya sastra cerita (satua)
mengandung unsur-unsur karya sastra layaknya sastra modern. Secara garis besar satua juga dibangun dengan dua unsur
penting, yaitu unsur interinsik dan unsur ekstrinsik.
1.
Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik yang membangun
cerita (satua) antara lain: (a) tema; (b) insiden; (c) alur; (d)
seting/latar; (e) tokoh/karakter; dan (f) amanat (Tarigan, 1994:1276).
a. Tema.
Tema merupakan gagasan, ide,
pikiran utama atau pokok pembicaraan dalam
karya sastra (Zaidan dkk, 2004: 203-204). Dengan kata lain tema adalah
ide sebuah cerita yang disampaikan pengarang kepada penikmatnya melalui karya
sastranya. Ide tersebut dapat berupa masalah kehidupan tentang kehidupan ini
atau komentar terhadap kehidupan ini.
b. Insiden
Insiden adalah suatu kejadian
atau peristiwa yang terkandung dalam cerita, besar atau kecil. Secara
keseluruhan insiden ini menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur
cerita (satua) (Sukada, 1987:57).
c. Alur
Alur atau flot adalah struktur
gerak dalam cerita, atau rangkaian kejadian dalam cerita (satua) yang disusun sebagai sebuah interelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi
(Antara, 1988: 270).
d. Penokohan/Karakter
Kamus Besar Indonesia memuat
penokohan merupakan proses, cara pembuatan penokohan atau penciptaan citra
tokoh dalam karya sastra (Depdiknas, 2005:1203). Sejalan dengan itu Esten
(1984: 40) menyatakan bahwa penokohan adalah cara pengarang menampilkan
tokoh-tokoh tersebut dalam sebuah cerita. Dari pendapat di atas dapat dikatakan
penokohan/karakter adalah penekanan pada unsur perwatakan/karakter tokoh dalam
cerita (satua) yang menonjol dan
dominan yang disebabkan oleh perkembangan ilmu fisikologi atau Ilmu Jiwa. Mutu
sebuah cerita (satua) banyak
ditentukan oleh kepandaian sipengarang menghidupkan watak tokoh-tokohnya.
Setiap tokoh mempunyai kepribadian sendiri, tergantung si-pengarang pada massa
lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, tempatnnya ia menetap dan pengalaman
hidupnya.
e. Latar
Latar merupakan tempat, masa, dan
lingkungan terjadinya cerita (satua).
Lingkungan yang dimagsud adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, latar
belakang alam (Sumardjo: 1983: 50).
f. Amanat
Amanat adalah
pesan atau gagasan yang mendasar dituangkan, dipaparkan pengarang dalam
karyanya untuk menyelesaikan atau memecahkan peristiwa yang terjadi. Dalam
Kamus Istilah Sastra karya panuti Sudjiman (1986:5) amanat diberi pengertian
gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca atau pendengar.
2.
Unsur Ekstrinsik
Unsur
ekstrinsik merupakan unsur luar karya sastra yang turut mempengaruhi penciptaan
karya sastra. Unsur-unsur tiap bentuk karya sastra sama sebab mencakup beberapa
aspek kehidupan sosial yang melatar belakangi penyampain tema. Faktor-faktor
yang termasuk unsur ekstrinsik yang terdapat pada cerita (satua) yaitu:
a. Faktor Agama.
Faktor Agama sangat
mempengaruhi pandangan hidup seorang pengarang dalam melakukan pemecahan
masalah. Oleh sebab itu pengarang dalam membuat karya sastra yang bernafaskan
Agama, haruslah mempunyai pengatahuan yang cukup tentang ajaran-ajaran Agama
yang dianutnya.
b. Faktor historis.
Pembuatan
karya sastra seorang pengarang harus dapat menggambarkan faktor yang
menunjukkan kapan terjadinya suatu peristiwa,dimana terjadinya, siapa
pelakunya, dan bagaimana suasana atau terjadinya kisah tersebut.
c. Faktor Sosial Budaya.
Selaku
pengarang karya sastra, seorang pengarang harus mengetahui budaya yang terdapat
dalam masyarakat, seluk-beluk dan juga keunikan-keunikan yang dimiliki oleh
masyarakat.
d. Faktor Psikologis
Seorang
pengarang harus memiliki pengetahuan ilmu jiwa. Dengan ilmu yang cukup
pengarang mampu membuat sebuah karya sastra dengan menampilkan perwatakan dan
menggambarkan tingkah laku yang cocok dengan gerak jiwa serta batin pengarang.
2.2.2.3
Jenis-Jenis Satua
Menurut Jelantik (1006: 103) prosa (gancaran) adalah karya sastra yang tidak
di ikat oleh banyaknya baris (larik),
tidak di ikat oleh banyaknya suku kata dalam satu larik, tidak di ikat oleh
labuh suara. Prosa Bali
memuat inti cerita yang diceritakan kepada pendengar atau pembaca.
Prosa
bali di bagi menjadi dua jenis, yaitu prosa Bali baru dan prosa Bali
tradisional. Sehubungan dengan itu adapun jenis-jenis prosa Bali tradisional
yang termasuk ke-dalam satua, diantaranya: (1) dongeng; (2) hikayat; (3)
wiracarita; dan (4) mitos.
1. Dongeng
Dongeng merupakan suatu cerita (satua) yang isi dan jalan ceritanya
bermacam-macam, umumnya tidak jelas pengarangnya atau anonim. Semantara isi dan
tokoh pelakunya dapat di bagi menjadi lima, antaralain:
1) Dongeng binatang, misalnya:
a.
sang Lutung têkén
Sang Kekua.
b. Kidang
têkén Cecek, dan lain
sebagainya.
2) Dongeng binatang dengan
manusia, misalnya;
a. Crukcuk Kuning,
b. Siap selem, dan
lain sebagainya.
3) Dongeng manusia dengan
manusia, misalnya;
a. I
Dempuawang,
c. Pan
Baling Tamak,
d. I
belog Mantu, dan lain
sebagainya.
4) Dongeng Dewa, Batara dengan
Manusia, misalnya;
a.
I Lengar,
b. I Bagus Diarsa, dan lain sebagainya.
5) Dongeng manusia dengan
raksasa, misalnya;
a. I tuwung Kuning,
b. I Bawang
têkén I Kasuna, dan lain sebagainya.
2. Hikayat (Babad)
Hikayat (babad)
menceritakan tokoh yang ditinggal di istana (puri) mempunyai suatu kekuatan (kesaktian)
disertai cerita peperangan, keadaan satria dan lain sebagainya. Misalnya: Babad Buleleng; Babad Blahbatuh;
Babad Dalam; Babad Menguwi; Babad Pasek; dan lain
sebagainya.
a.
Wiracarita (Epos)
Wiracarita menceritakan
tentang kepahlawanan, peperangan, kesaktian, seperti; Bratayuda; Ramayana; dan
lain sebagainya.
b.
Mitos (Cerita Dewa-Dewa)
Mitos merupakan cerita (satua) yang mencritakan tentang
Dewa-Dewa, Bhatara dan Bhatari, seperti: Prabu Watugunung; Sudamala; dan lain
sebagainya.
Dari ke-empat jenis-jenis
prosa Bali tradisional yang tergolong dalam cerita diatas yang termasuk kedalam
penelitian Penulis mengenai kemampuan
menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” yang di pakai sebagai interumen
merupakan jenis cerita dongeng, cerita
manusia dengan manusia. Cerita/dongeng ”I
Belog Mantu” merupakan cerita lucu, dan menarik sekali untuk disimak,
dimana di sana mengisahkan seorang pemuda yang bernama ”I Belog” yang berupaya mendapatkan seorang perempuan yang bernama ”I Luh Sari” dengan segala tipu daya dan
celotehannya sampai mendapatkan Luh Sari
sebagai istrinya.
Satua ”I Belog Mantu” merupakan suatu salah satu media pendidikan untuk dapat merubah sikap
mental dan tingkah laku yang buruk menjadi sikap mental dan tingkah laku yang
baik. Sehingga satua ”I Belog Mantu” dapat
menjadi cermin dalam kehidupan sehari-hari menuju arah kemajuan dalam bidang
material maupun spiritual. Bertitik tolak dari tujuan tersebut di atas, maka
terlihat adanya usaha pembinaan dan pengembangan akal serta budi pekerti siswa,
tentang pembinaan sikap atau tingkah
laku anak dan tentang rasa percaya diri. Sikap mental seperti itu tercermin
bila seseorang mampu membina akalnya dan mampu mengendalikan akalnya sendiri.
Pembinaan akal ini sangat perlu dilakukan, terutama terhadap siswa-siswa yang
masih dalam perkembangan jasmani dan rohani dalam penentuan arah pikirannya
untuk pembangunan karekter siswa itu..
Untuk itu kegiatan proses
belajar mengajar disekolah yang dilakukan oleh para guru dapat menggunakan
cerita rakyat atau satua Bali sebagai
sarana untuk menanamkan pendidikan budi pekerti kepada siswa. Selain itu satua Bali yang memberikan kesan
tradisional masih berperan penting dalam meningkatkan apresiasi belajar siswa
melalui penuangan bahasa, imajinasi dan daya nalar siswa itu sendiri. Satua ini disampaikan secara oral, yang
memiliki gaya tersendiri yang disebut dengan ” gaya tutur”. Dimana gaya tutur
biasanya mencerminkan karakter atau sikap dari siswa itu sendiri.
2.2.3
Retorika (Tutur dan Bertutur)
Retorika dulunya dikenal sebagai Ilmu bicara. Retorika disini
berarti seni untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Art bene dicendi),
yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai
kesenian untuk berbicara baik dan dipergunakan dalam proses komunikasi antar
manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya dituntut berbicara lancar, namun
lebih pada kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, padat, jelas
dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan
fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta
penilaian yang tepat.
Dalam pemaknaannya, retorika
diambil dari bahasa Inggris rhetoric bersumber
dari perkataan latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Sedangkan Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren
dalam bukunya Modern Rhetoric
mendefenisikan retorika sebagai the art
of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif. Hampir
senada dengan hal tersebut Aristoteles mengartikan retorika sebagai The art of persuasion. Perspektif
retorika tentang komunikasi antar personal menyatakan bahwa konsep dan prinsip
tradisonal retorika untuk mempengaruhi masyarakat, sama baiknya diterapkan pada
komunikasi yang akrab dan antar personal. Substansi retorika bertujuan
fungsional. Menurut Harold Barrett (1996) bahwa pemakai retorika berusaha agar
efektif, untuk mendapatkan jawaban, menjadi orang, dikenali, didengarkan,
dimengerti dan diterima. Tujuan interaksi retoris merupakan dasar bersama
tempat menjalin hubungan secara sukses. Orang-orang dalam komunikasi antar
personal, (masih menurut Barret) harus berusaha keras supaya efektif dan etis,
setiap saat menunjukkan penghargaan terhadap keberadaan orang lain, penghargaan
terhadap nilai intrinsik mereka sebagai manusia.
Secara substansial terdapat
beberapa faktor situasional yang mempengaruhi proses komunikasi dan persepsi
seseorang dalam interaksi antar personalnya yaitu pertama, deskripsi verbal
adalah penggambaran secara langsung tentang seseorang. Ketika seseorang
menceritakan bahwa “wanita itu tinggi, putih, cerdas, rajin, lincah dan kritis”
maka sudah terbayang bahwa wanita itu cantik, bahagia, humoris dan pandai
bergaul (pada saat membayangkan maka deskripsi verbal telah berlangsung).
Kedua, Proksemik yaitu studi
tentang penggunaan jarak dalam penyampaian pesan. “ Ketika saudara menghadap
seorang pejabat lalu ia mempersilakan saudara duduk pada kursi yang tersedia
sementara ia duduk jauh dari saudara bahkan dihalangi oleh meja lebar maka
saudara mempersepsikan bahwa pejabat tersebut sebagai orang yang tidak begitu
terbuka sehingga saudara lebih berhati-hati berbicara dengannnya.
Ketiga, kinesik adalah
ekspresi sikap dan gerak tubuh seseorang. Untuk memperjelas tentang kinesik,
maka silakan pembaca jawab pertanyaan, bagaimana pendapat dan penilaian saudara
ketika seseorang berbicara terpatah-patah, kedua telapak tangannya saling
meremas dan diletakkan di atas kedua paha yang dirapatkan? (Jawaban pembaca
merupakan persepsi yang didasarkan atas kinesik).
Keempat, paralinguistik yaitu cara bagaimana seseorang mengucapkan lambang-lambang
verbal, meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara dan proses bagaimana
menyampaikan pesan. Tempo bicara yang lambat, ragu-ragu, dan tersendat-sendat
akan dipahami sebagai ungkapan rendah diri atau “kebodohan”.
Kelima, artifaktual yaitu
meliputi segala macam penampilan mulai dari potongan rambut, kosmetik yang
dipakai, baju, tas, kendaraan dan atribut-atribut lainnya. Persepsi bahwa
seseorang kaya karena ia mengendari mobil mewah, potongan rambut yang rapi,
menggunakan jas dan berbagai atribut parlengkapan lainnya (padahal tahukah
saudara bahwa ia hanya seorang supir!).
Semua orang merindukan bisa
menjelaskan sesuatu dengan baik, namun tidak semua bisa melakukannya. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dipelajari, keterbatasan kesungguhan
untuk melatih diri, dan keterbatasan dari kegigihan serta semangat. Itulah hal
yang terkadang membuat kualitas dalam penyampaian sesuatu tidak meningkat.
Kemampuan menyampaikan ide
hampir sama pentingnya dengan ide itu sendiri. Artinya sebuah ide yang baik,
menarik dan penting ternyata akan kurang bermakna jika disampaikan oleh
seseorang yang kemampuan komunikasinya terbatas. Sebaliknya, ide yang sederhana
bahkan kurang penting akan terkesan luar biasa jika disampaikan dengan teknik
komunikasi yang baik. Peningkatan penyajian informasi dalam dialektika
retoris-etis antar personal dapat dilakukan melalui pemaparan fakta yaitu
pernyataan yang menunjukkan bahwa sesuatu itu benar. Ada tiga kriteria yang
dijadikan tolak ukur yaitu pertama relevancy adalah fakta yang diungkapkan
bermanfat atau relevan dengan kepentingan pembicara dan pendengar. Kedua,
Sufficiency yaitu fakta dapat mendukung gagasan utama dalam pembicaraan. Ketiga
atau yang terakhir adalah Plausibility yaitu sumber-sumber fakta harus dapat
dipercaya nilai kebenarannya.
Sebagai refleksi akhir dalam tulisan ini mengingat kembali tentang seorang
kopral kecil, veteran Perang Dunia II berhasil naik menjadi kaisar Jerman.
Dalam bukunya Main Kampf dengan tegas Hitler mengatakan bahwa keberhasilannya
disebabkan oleh kemampuannya berbicara.
Beberapa jenis sarana retorika
yang dapat disampaikan secara singkat dalam bagian ini antara lain; tautologi,
pleonasme, retorik retisense, paralelisme, enumerasi, paradoks, hiperbola, dan
kiasmus.
a. Tautologi
Tautologi ialah sarana
retorika yang menyatakan hal secara berulang, setidaknya dua kali. Pengulangan
ini dilakukan guna memperdalam arti kata atau keadaan terhadap pembaca atau
pendengar. Meskipun secara fonologis pengulangan itu tidak terdengar atau
terbaca sama, namun secara semiotis perulangan itu merujuk pada suatu hal atau
arti yang sama, namun lebih mendalam. Misalnya: silih berganti tiada henti;
tiada kuasa tiada daya, larinya cepat semakin cepat, dsb.
b. Pleonasme
Pleonasme ialah sarana
retorika yang sekilas seperti Tautologi. Namun kata yang disebut kedua
sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Perulangan ini dimaksudkan
agar maksud menjadi lebih jelas. Misalnya: naik meninggi, turun melembah jauh
ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, dsb.
c. Retorik Retisense
Retorik Retisense ialah sarana
retorika yang menggunakan banyak titik-titik. Penggunaan titik banyak ini untuk
menggantikan perasaan yang tidak dapat diungkapkan. Contohnya: hatiku ini…..
oh….., kasihku……, dsb.
d. Paralelisme
Paralelisme ialah pengulangan
isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu
atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana dalam
Pradopo, 1990:97). Contohnya: Segala kulihat segala membayang, segala kupegang
segala mengenang.
e. Enumerasi
Enumerasi ialah sarana retorika yang
berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian, agar hal-hal
tersebut terkesan lebih jelas dan detil. Contohnya: di dalam suka di dalam
duka, waktu bahagia waktu merana, masa tertawa masa kecewa, kami terbuai dalam
nafasmu.
f. Paradoks
Paradoks ialah sarana retorika yang
menyatakan sesuatu secara bertentangan, tetapi sebenarnya bila sungguh-sungguh
dirasakan, sama sekali tidak bertentangan. Contohnya: hidup yang terbaring mati, aku beku
dalam kepanasan, dsb.
g. Hiperbola
Hiperbola ialah sarana retorika yang
melebih-lebihkan suatu keadaan. Guna menyangatkan, untuk intensitas dan
ekspresivitas. Contohnya: cinta ini setinggi langit, wajahmu seperti matahari,
dsb. Paradoks ini ada yang menggunakan penjajaran kata yang berlawanan seperti
pertentangan hidup-mati, dalam kalimat: kesusahanku membuat hidup serasa mati.
Paradoks ini disebut oksimoron.
h. Kiasmus
Kiasmus adalah sarana retorika yang
menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya.
Misalnya: diri mengeras dalam
kehidupan, kehidupan mengeras di dalam diri.
Demikian sarana-sarana retorika yang
seringkali digunakan untuk menciptakan sebuah karya sastra. Kebanyakan dari
sarana retorika di atas adalah untuk memperdalam makna, memperjelas,
mendetilkan dan menyangatkan makna agar pendengar atau pembaca bisa lebih mampu
memahami maksud dan kondisi jiwa pengarang. Pengarang mewujudkan keinginan
hatinya lewat pilihan kata dan rangkaian kata-kata tersebut sehingga karyanya
melahirkan suatu medan semantis yang magnetis, yang begitu menarik perhatian
dan membuat pembaca atau pendengar larut dalam kesyahduan isi karyanya.Oleh
karenanya, agar tujuan pencapaian pemuasan estetis ini tercapai, demi
pengutaraan maksud dan isi hati secara tepat, maka untuk itu haruslah dipilih
kata-kata setepat mungkin. Pemilihan kata ini disebut diksi.
Menurut Barfield kata-kata yang dipilih
itu menimbulkan imajinasi estetik, untuk mendapatkan kepuitisan atau nilai
estetik. Dengan kata lain, kata-kata tersebut meghasilkan suatu renungan jiwa
yang dalam, sehingga memungkinkan seorang pembaca atau pendengar mengalami
kepuasan estetis. Menurut Elema, karya sastra harus meliputi keutuhan jiwa,
Sastrowardoyo menerjemahkan hal tersebut sebagai karya sastra yang mampu
dijiwai secara utuh. Jika sebuah karya sastra dapat dijiwai, atau setidaknya dapat
menghadirkan suatu kesadaran lain dalam perenungan jiwa, maka karya sastra
tersebut dapat merubah jiwa seseorang menjadi lebih budiman, ini yang dimaksud
oleh Aristoteles dengan proses penyucian jiwa lewat seni atau Katharsis.
Sementara Oka (1976) mengatakan, bahwa retorika
pada hakekatnya dimanfaatkan oleh setiap manusia yang hidup bermasyarakat dan
berbudaya lewat kegiatan bertuturnya. Ia merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang secara khusus memusatkan perhatian kepada tutur dan kegiatan bertutur.
Sedangkan kegiatan bertutur tidak lain dari kehiatan membahas sesuatu yang
dibahaskan ini dinamakan topik tutur. Selanjutnya Oka juga menekankan pada
topik tutur dibahas menurut cara-cara tertentu sehingga berwujud ragam jenis
tutur, seperti obrolan, lelucon, cerita, surat, keterangan, puisi, buku,
pidato, khotbah, ceramah atau dharma wacana, dan lain sebagainya, dan apapun
jenis bentuk bahasa yang dipakai, setiap topik tutur yang sudah dibahasakan
secara umum bisa disebut tutur. Orang yang menuturkan disebut penutur,
sedangkan orang yang menghayati tutur disebut penanggap tutur. Termasuk
kedalamnya adalah pendengar dan pembaca. Peristiwa komunikasi yang berlangsung
antara penutur dengan penenggap tutur disebut peristiwa tutur.
Berkaitan dengan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”, peristiwa menceritakan kembali satua tersebut merupakan suatu tindak tutur yang menuturkan kembali
jalannya cerita secara lisan. Dimana orang yang menuturkan hal tersebut sekaligus menghayati isi cerita
sehingga ia mampu memahami keseluruhan isi cerita yang telah ia baca.
Selain itu seorang penutur cerita atau yang
menceritakan satua tersebut harus
bisa mempengaruhi para pendengarnya tentunya dengan pemilihan bahasa yang
tepat, pemakain argumen untuk memperjelas cerita, dan penampilan gaya khas
penutur dalam menampilkan gagasan cerita itu. Sehingga penutur satu dengan yang
lainnya berbeda-beda, walaupun cerita yang dituturkan itu sama.
2.2.4
Membaca
Membaca merupakan suatu proses yang dilakukan serta
dipergunakan oleh pembaca untuk memproleh pesan yang hendak disampaikan penulis
melalui media kata-kata/ bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok
kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas
dan agar makna kata-kata secara individual akan diketahui. Bila hal tersebut
tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan
tertangkap atau dipahami sehingga proses membaca tidak terlaksana dengan baik
(Hoodgson 1960: 43-44).
Landasan teori membaca peneliti gunakan sebagai dasar
pengukuran pemahaman siswa dalam
memahami/menghayati cerita yang dibaca untuk diceritakan kembali dengan
bahasanya sendiri.
2.2.4.1 Tujuan Membaca
Tujuan utama dalam
membaca adalah mencari dan memperoleh informasi, mencakup isi dan menyangkut
pemahaman makna bacaan. Makna
sebuah bacaan berhubungan erat dengan maksud, tujuan dan intensif kita dalam
membaca. Berikut dikemukakan beberapa hal yang penting dalam membaca.
1. Membaca
untuk menemukan mengetahui apa yang telah dilakukan, dibuat, apa yang terjadi,
atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh sang tokoh.
2. Membaca
untuk mengetahui mengapa hal tersebut merupakan topic yang baik dan menarik,
masalah yang terda[pat dalam cerita, apa yang dialami oleh sang tokoh dan
hal-hal yang dilakukan untuk mencapai tujuan.
3. Membaca
untuk mengetahui apa yang hendak diperlihatkan oleh sang pengarang kepada para
pembaca.
4. Membaca
untuk mengetahui apa yang wajar menganai seorang tokoh, apa yang lucu dalam
cerita, dan apa cerita itu merupakan fakta atau fiksi belaka.
5).
Membaca untuk menemukan apakah sang tokoh berhasil atau hidup dalam
ukuran-ukuran tertentu, apakah prilaku sang tokoh patut ditiru atau tidak.
6). Membaca untuk menemukan bagaimana caranya
sang tokoh menghadapi permasalahan dalam rentangan cerita secara keseluruhan.
Sehubungan
dengan penelitian menceritakan kembali satua
”I Belog Mantu” yang
merupakan keterampilan membaca adalah
suatu dasar untuk pemahaman keterampilan berbahasa khusunya Menceritan suatu
cerita. Berdasarkan hal itu
dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara kedua keterampilan itu. Untuk
menceritakan suatu cerita harus diawali dengan membaca teks ceritanya kemudian
dipahami isinya, barulah siswa akan mampu menceritakn kembali isi dari cerita
tersebut.
2.2. 5 Kreteria Penilaian Aspek
Menceritakan
Adapun kreteria untuk aspek
menceritakan, meliputi: ucapan, tekanan, intonasi, dan kelancaran dalam menceritakan kembali cerita
yang sudah dibaca dengan tepat.
2.2.5.1 Ucapan
Menurut Keraf (1984: 53) cara
mengucapkan sebuah kata dapat dimasukkan kedalam sebuah kamus. Gunanya untuk membantu para pemakai, agar
dapat mengucapkan sebuah kata dengan benar dan tepat. Ucapan itu ditulis dengan
simbol-simbol fonetis, yang bagi bahasa Indonesia boleh dikatakan sama dengan
simbol ejaan resmi kecuali beberapa, misalnya dalam KUBI (Kurikulum Bahasa Indonesia) cetakan V dimasukkan keterangan
mengenai ucapan agar tidak salah diucapkan misaalnya kata céngcéng (cêngcêng), dan
pada saat berucap atau bertutur kata biasanya seorang peutur yang baik
memiliki kualitas dan daya tahan suara,
keindahan berirama serta jelas dalam artikulasi dan artikulator.
Berkaitan dengan penilain
menceritakan kembali satua yang dinilai dalam ucapan yaitu Memiliki kualitas
dan daya tahan suara, keindahan berirama serta jelas dalam artikulasi dan
artikulator.
2.2.5.2
Tekanan/Intonasi
Menurut Keraf (1984: 52) agar sebuah
kata dapat diucapkan dengan benar, maka kata-kata dalam sebuah kamus dapat
diberi tanda-tanda tekanan pada suku-suku kata yang patut mendapat tekanan.
Bahasa-bahsa yang memiliki tekanan membedakan empat macam tekanan , yaitu
tekanan paling keras, tekanan keras, tekanan lembut, dan tekanan paling
lembut..
Sesuai
dengan paparan di atas maka yang dinilai dalam tekanan menceritakan kembali
satua secara keseluruhan menyangkut ketepatan dalam bertutur cerita yang
disesuaikan dengan tekanan suara baik tinggi rendahnya suara maupun keras
lembutnya suara yang diucapkan. Serta suatu bahasa biasanya memiliki tekanan
dinamik, tekanan tempo, tekanan nada dan modulasi.
2.2.5.3
Intonasi
Menurut Samsuri (1981: 227) intonasi
adalah suatu tanda untuk mengukur tinggi rendahnya suatu bahasa , misalnya
intonasi pada saat mengucapkan kata yang berisi tanda seru {!}; tanda tanya
{?}; tanda koma {,}; dan tanda titik {.}.
Dalam hal ini penilainnya jelas sekali
dimana penilai intonasi yang diambil ketika menceritakan cerita dilihat dari
segi tanda baca atau irama/jeda sesuai dengan kalimat yang dituangkan dalam
bahasa cerita oleh siswa itu sendiri.
2.2.5.4
Kelancaran
Menurut BSNP (2006) kata-kata yang
diucapkan apakah sudah lancar tanpa hambatan dan tepat waktu sesuai dengan
waktu yang ditentukan. Dengan acuan seperti itu sudah jelas penilain tentang
kelancaran menceritakan kembali suatu cerita, siswa selaku pencerita harus
mampu bercerita tanpa adanya kesalahan karena gagap, ataupun semacam
keragu-raguan.
Siswa dituntut bisa menampilkan cerita secara
keseluruhan dengan tepat memiliki kualitas suara yang baik, tidak
gugup/ragu-ragu dalam bercerita serta diimbangi dengan ekspresi wajah,pandangan
mata dan gerakan tangan berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita dengan
penuh penghayatan ekspresiari olah vokal, penjiwaan dengan karakternya sendiri.
Berkaitan dengan itu siswa juga harus bisa menguasai atau mampu menceritan
cerita yang sudah dibaca dengan isi keseluruhan secara singkat dan padat tanpa
adanya kekeliruan
BAB III
METODE
PENELITIAN
Metode adalah jalan yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan (Netra, 1974: 1). Tercapai atau tidaknya suatu
tujuan tergantung dari metode yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam suatu
penelitian metode merupakan suatu syarat utama bagi seorang peneliti. Tujuan
penelitian akan dapat tercapai, apabila penelitian tersebut dilaksanakan dengan
menggunakan metode yang tepat. Dengan demikian jelaslah betapa besar peranan metode penelitian di dalam
kegiatan penelitian. Sehingga hasil penelitian itu benar-benar dapat
dipertanggung jawabkan.
Penelitian adalah suatu aktivitas yang di
lakukan secara mandalam. Motif dari suatu penelitian itu adalah masalah. Biasanya
makin banyak komponen yang di teliti makin dalam penelitian yang di lakukan. Di
samping menggunakan penelitian yang mendalam juga menggunakan rencana
sistematis. Rencana sistematis merupakan langkah-langkah pokok dalam suatu
penelitian. Penelitian juga menggunakan
metode ilmiah, sedangkan tujuan akhir dalam penelitian adalah mencari suatu
kebenaran ilmiah.
Jadi Metode Penelitian adalah
suatu aktivitas yang mengandung suatu masalah, rencana sistematis,
metode-metode ilmiah, dan bertujuan unutuk mencari kebenaran ilmiah. Guna
menunjang ke-ilmiahan penelitian kemampuan menceritakan kembali satua
”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA N 8 Denpasar tahun pelajaran
2010/2011, digunakan metode: (1) metode penentuan subjek penelitian; (2) metode
pendekatan subjek; (3)metode pengumpulan data; dan (4) metode pengolahan data.
3.1 Metode Penentuan Subjek Penelitian
Metode
penentuan subjek penelitian ini adalah suatu metode atau teknik yang dipakai
dalam menentukan subjek yang akan diteliti. Ditinjau dari wilayah sumber data,
maka dibedakan menjadi dua jenis penelitian yaitu penelitian populasi, dan
penelitian sampel. Hasil penelitian sample berlaku bagi populasi, sedangkan
hasil penelitian kasus berlaku bagi kasus itu sendiri (Arikunto, 1993: 104).
Netra (1974: 22) menyatakan, bahwa subjek penelitiam adalah suatu metode yang
digunakan dalam rangka mentukan subjek penelitian. Setiap suatu penelitian
terlebih dahulu harus menentukan subjek penelitian terlebih dahulu harus
menetukan subjek penelitian. Kedua unsur tersebut tidaklah sama, tetapi
mempunyai hubungan yang erat antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah penentuan
subjek penelitian ini meliputi subjek penelitian, objek penelitian, dan tempat
penelitian. Subjek penelitian adalah setiap individu yang akan kita teliti,
individu yang dimaksud adalah manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun
benda-benda (Netra, 1979 : 20).
Sesuai dengan dengan hal
tersebut di atas, penulis mengambil penelitian sampel karena mengingat
keterbatasan waktu dan keadaan tempat penelitian. Subjek penelitian yang
diambil yaitu semua siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar. Objek penelitian
adalah gejala atau peristiwa yang diteliti. Objek penelitian dalam penelitian
ini adalah tentang kemampuan menceritakan kembali satua ’I Belog Mantu”.
3.1.1 Populasi Penelitian
Suatu populasi harus
dinyatakan dengan tegas batas-batasnya, karena generalisasi yang dilakukan
harus jelas lebih dahulu batas-batasnya dan tidak berlaku untuk populasi yang
lain (Netra, 1979 : 31).
Menyimak uraian tersebut, penulis
menetapkan populasi penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2010/2011. Lebih
jelasnya maka populasi akan dikemukakan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 3.1: Populasi Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran
2010/2011.
Kelas |
Jenis Kelamin |
Jumlah |
|
Laki-Laki |
Perempuan |
||
2 |
3 |
4 |
5 |
XI IPS 1 |
28 |
12 |
40 |
XI IPS 2 |
26 |
12 |
38 |
XI IPS 3 |
27 |
12 |
39 |
XI IPS 4 |
26 |
9 |
35 |
XI IPA 1 |
24 |
23 |
47 |
XI IPA 2 |
23 |
24 |
47 |
XI IPA 3 |
24 |
24 |
48 |
XI IPA 4 |
26 |
22 |
48 |
XI IPA 5 |
25 |
23 |
48 |
XI IPA 6 |
9 |
27 |
36 |
JUMLAH |
426 |
3.1.2
Sampel Penelitian
Berdasarkan tabel
diatas, jumlah populasi dalam penelitian adalah 426 oarang yang terdiri atas
238 putra dan 188 putri. Mengingat banyaknya jumlah populasi yang akan diteliti
serta diharapkan penelitian ini memperoleh hasil yang maksimal, maka akan
ditetapkan sejumlah sample penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto
(1993:107) yang mengemukakan sebagai berikut.
Untuk sekedar acer-ancer, maka
apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga
penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar, dapat
diambil antara 10-15% atau 20-25%, tergantung setidak-tidaknya dari:
a).
Kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana.
b). Sempit luasnya wilayah
pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya
data.
c). Besar kecilnya resiko
yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang resikonya besar, tentu
saja jika sampel lebih besar, hasilnya akan lebih baik.
Berdasarkan pendapat Arikunto
di atas, maka besarnya jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah
25% dari populasi, yaitu 426 x 25% = 106,5 = 106 orang.
Terkait dengan penelitian ini
digunakan teknik sampling yaitu Random sampling. Berikut ini akan dijelaskan
tentang penggunaan teknik Random sampling.
3.1.2.1
Random Sampling
Pengambilan sampel dengan
teknik random merupakan pengambilan sampel tanpa pandang bulu atau secara acak.
Menurut Marzuki (1983:43) pengambilan sampel dengan teknik random adalah teknik
yang paling baik dalam pelaksanaan penelitian. Dalam teknik ini, semua individu
dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama diberi
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Namun dalam
penelitian ini pencarian sampel di bantu oleh guru mata pelajaran yang
bersangkutan. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam teknik random:
1. Menulis nomor subjek pada kertas-kertas
kecil sesuai dengan jumlah siswa pada kelas yang bersangkutan;
2. Menggulung kertas tersebut baik-baik;
3. Mamasukkan gulungan tersebut ke dalam
kaleng;
4.
Mengocok baik-baik keleng
tersebut;
5. Kertas tadi dikeluarkan satu persatu dari
kaleng. Siswa yang nomernya
nya keluar dari kaleng ditetapkan sebagai anggota sampel. Kemudian, kaleng itu
terus dikocok dan kertasnya dikeluatkan satu persatu sampai jumlah sampel yang
ditentukan di kelas tersebut terpenuhi.
Tabel 3.2: Nama Sampel Penelitian Siswa Kelas Xi SMA N8 Denpasar Tahun
Pelajaran 2010/2011
No. |
Nama
Siswa |
Kelas |
Jenis Kelamin |
|
Laki-Laki |
Perempuan |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
1 |
Amalika Gitamaharani
Ni Made |
XI IPA 6 |
|
√ |
2 |
Angkus Surawan, I Komang |
XI IPA 6 |
√ |
|
3 |
Ari Saptarini, I Gusti Ayu |
XI IPA 6 |
|
√ |
4 |
Astri Pradnyandari, Ni Putu |
XI IPA 6 |
|
√ |
5 |
Astri Pradnyandari, Ni Putu |
XI IPA 6 |
|
√ |
6 |
Ayu Cindy Pramitha Putri, Putu |
XI IPA 6 |
|
√ |
7 |
Ayu Dwijayanti, Ni Putu |
XI IPA 6 |
|
√ |
8 |
Ayu Imelda Sasiandari, Ni Putu |
XI IPA 6 |
|
√ |
9 |
Ayu Pratiwi Maharani, Ni Made |
XI IPA 6 |
|
√ |
10 |
Ayu Tri Martriani, Nyoman |
XI IPA 6 |
|
√ |
11 |
Bintang Nararya Sena, I Gede |
XI IPA 5 |
√ |
|
12 |
Cindy Arista, Putu |
XI IPA 5 |
|
√ |
13 |
Dalam Saputra Jagadhita, I Made |
XI IPA 5 |
√ |
|
14 |
Dian Utami Jelantik, Putu |
XI IPA 5 |
|
√ |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
15 |
Eka Dewi Kartika, Ni Putu |
XI IPA 5 |
√ |
|
16 |
Hendy Setiawan, I Gst. Ag. Ngr |
XI IPA 5 |
√ |
|
17 |
Indriana Triastuti |
XI IPA 5 |
|
√ |
18 |
Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A. |
XI IPA 5 |
|
√ |
19 |
Krisna Masyuda |
XI IPA 5 |
√ |
|
20 |
Mariadnyani, Ni wayan |
XI IPA 5 |
|
√ |
21 |
Mega Danu Ningrum |
XI IPA 4 |
|
√ |
22 |
Nanda
PradnyaDianti, Dewa Ayu Putu |
XI IPA 4 |
|
√ |
23 |
Nita Wiryandari, Ni
Putu |
XI IPA 4 |
|
√ |
24 |
Putri Ariyanti, Gst.
A |
XI IPA 4 |
|
√ |
25 |
Rachma Ayu Santyka
Sasmitha |
XI IPA 4 |
|
√ |
26 |
Rahayu
Kusuma Pratiwi, Ni Putu |
XI IPA 4 |
|
√ |
27 |
Reza Bregas Pangestu |
XI IPA 4 |
√ |
|
28 |
Roshida Qurota Aini
Islamiah |
XI IPA 4 |
|
√ |
29 |
Sri Agustiani, Ni Luh |
XI IPA 4 |
|
√ |
30 |
taharyanti, Gst. Ayu
Putu |
XI IPA 4 |
|
√ |
31 |
Wira
Adi Kesuma, I Kadek |
XI IPA 3 |
√ |
|
32 |
Yogi Aditya |
XI IPA 3 |
√ |
|
33 |
Yuli Dwi Ayu Kartika |
XI IPA 3 |
|
√ |
34 |
Yulia Hartanti
Praptika, Putu |
XI IPA 3 |
|
√ |
35 |
Yunita Sari , Ni Putu |
XI IPA 3 |
|
√ |
36 |
Aditya Pratama, I Putu |
XI IPA 3 |
√ |
|
37 |
Agung Reza Pratama Putra, Putu |
XI IPA 3 |
√ |
|
38 |
Agus Nanda Yudistira |
XI IPA 3 |
√ |
|
39 |
Agus Nova Andreana |
XI IPA 3 |
√ |
|
40 |
Agus
Saputra Darma, I Wayan |
XI IPA 3 |
√ |
|
41 |
Arya Putra Bharata, I
Made |
XI IPA 2 |
√ |
|
42 |
Ayu Devi Dharmayanti,
Putu |
XI IPA 2 |
|
√ |
43 |
Ayu Satriani, Ni Made |
XI IPA 2 |
|
√ |
44 |
Ayu Sri Wahyuni,
Ketut |
XI IPA 2 |
|
√ |
45 |
Ayu
Suasti Dewi, Ni Made |
XI IPA 2 |
|
√ |
46 |
Bella Kharisma |
XI IPA 2 |
|
√ |
47 |
Bobie Chriesna
Kurniawan |
XI IPA 2 |
√ |
|
48 |
Dedy Gunawan, I Wayan |
XI IPA 2 |
√ |
|
49 |
Desy
Rosita Dewi, Ni Made |
XI IPA 2 |
|
√ |
50 |
Dewi Agustini, Putu |
XI IPA 2 |
|
√ |
51 |
Dewi Anjani, Ni Ketut |
XI IPA 1 |
|
√ |
52 |
Dian Novita Mayasari |
XI IPA 1 |
|
√ |
53 |
Dini Kuswandari,
Gusti Ayu |
XI IPA 1 |
|
√ |
54 |
Diptha Nugraha R, Ida Bagus |
XI IPA 1 |
√ |
|
55 |
Ika Septia Utami |
XI IPA 1 |
|
√ |
56 |
Indah Windayani, Ni Luh Putu |
XI IPA 1 |
|
√ |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
57 |
Juliana Dewi, Ni
Komang |
XI IPA 1 |
|
√ |
58 |
Kriesna Widiastuti,
I.A |
XI IPA 1 |
|
√ |
59 |
Krisna Adi Astika, I
Putu |
XI IPA 1 |
√ |
|
60 |
Krisna Wijaya, I
Nyoman |
XI IPA 1 |
√ |
|
61 |
Mada Aditya Kurniawan |
XI IPS 1 |
√ |
|
62 |
Oka Sudiana, Putu |
XI IPS 1 |
√ |
|
63 |
Okta
Viantini, Ni Luh Putu |
XI IPS 1 |
|
√ |
64 |
Pradnya
Paramitha, I Gst. Ayu |
XI IPS 1 |
|
√ |
65 |
Pramanda Aninti, Ni Luh Gede |
XI IPS 1 |
|
√ |
66 |
Purwa Darmaja, Wayan Gede |
XI IPS 1 |
√ |
|
67 |
Putri Awandari, Luh
Putu |
XI IPS 1 |
|
√ |
68 |
Ririn Purnami, Ni
Made |
XI IPS 1 |
√ |
|
69 |
Trinasari Putri, Komang |
XI IPS 1 |
|
√ |
70 |
Wintara Wima Putra,
Putu |
XI IPS 1 |
√ |
|
71 |
Windu Dwi Widanta,
I.B. Md |
XI IPS 2 |
√ |
|
72 |
Wira
Adi Suputra, I Putu Gede |
XI IPS 2 |
√ |
|
73 |
Wiwin arlina , NiLuh
putu |
XI IPS 2 |
|
√ |
74 |
Wulandari, I.G.A |
XI IPS 2 |
|
√ |
75 |
Yoga Artanaya, Putu |
XI IPS 2 |
√ |
|
76 |
Yoga Sumantara, I
Wayan |
XI IPS 2 |
√ |
|
77 |
Yudi Kesuma Putra, I
Wayan |
XI IPS 2 |
√ |
|
78 |
Yudi Perwana, I Wayan |
XI IPS 2 |
√ |
|
79 |
Aditya
Y.P, I Putu Gede |
XI IPS 2 |
√ |
|
80 |
Bayu Santika, Putu |
XI IPS 2 |
√ |
|
81 |
Deky Marcika, I
Nyoman |
XI IPS 3 |
√ |
|
82 |
Dewi Suryantari, Ni
Putu |
XI IPS 3 |
|
√ |
83 |
Dwi Cahya Kusuma,
Made |
XI IPS 3 |
|
√ |
84 |
Dwi Gunayasa, I Made |
XI IPS 3 |
√ |
|
85 |
Dwi Pranata, I Made |
XI IPS 3 |
√ |
|
86 |
Gita Pramana Putra, I
Made |
XI IPS 3 |
√ |
|
87 |
Guna
Yulita, Ni Luh Ketut |
XI IPS 3 |
|
√ |
88 |
Ida Bagus Weda
Karanata |
XI IPS 3 |
√ |
|
89 |
Kurnia Philyanti |
XI IPS 3 |
|
√ |
90 |
Manu Mahari, Luh |
XI IPS 3 |
|
√ |
91 |
Meilani Wulandari, Ni
Putu |
XI IPS 3 |
|
√ |
92 |
Metriyani, Ni Wayan |
XI IPS 3 |
|
√ |
93 |
Mita Andharista, Ni
Putu |
XI IPS 4 |
|
√ |
94 |
Mulya Iswara, Ida
Bagus |
XI IPS 4 |
√ |
|
95 |
Nami Sawitri, Ni
Wayan |
XI IPS 4 |
|
√ |
96 |
Nita Rianti, Kadek |
XI IPS 4 |
|
√ |
97 |
Oka Cahyadi, I Made |
XI IPS 4 |
√ |
|
98 |
Putra
Partha Nadi, I Made |
XI IPS 4 |
√ |
|
99 |
Rama Udiyana, Ida
Bagus |
XI IPS 4 |
√ |
|
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
100 |
Rumadi Putra, I Made |
XI IPS 4 |
√ |
|
101 |
Sri Murtini, Komang |
XI IPS 4 |
|
√ |
102 |
Sri Rahayu, Ni Luh |
XI IPS 4 |
|
√ |
103 |
Widiantini, Ni Ketut |
XI IPS 4 |
|
√ |
104 |
Widya Savitri, Putu |
XI IPS 4 |
|
√ |
105 |
Wira
Diana Putra, I Made |
XI IPS 4 |
√ |
|
106 |
Wiyasa, I Putu |
XI IPS 4 |
√ |
|
Jumlah |
|
44 |
62 |
3.2 Metode Pendekatan Subjek Penelitian
Metode pendekatan subjek
penelitian merupakan metode yang khusus dipakai untuk mendekati subjek
penelitian. Dalam penelitian ini, metode pendekatan subjek penelitian yang
digunakan adalah metode empiris kuantitatif.
Metode empiris adalah suatu
pendekatan di mana gejala yang akan diselidiki sudah ada secara wajar (Netra
1974: 38). Penulis menggunakan metode ini karena gejala yang akan diselidiki
sudah ada secara wajar, yaitu kemampuan menceritakan kembali sebuah satua.
Gejala wajar yang dimaksud
adalah materi pembelajaran mengungkapkan wacana dari membaca berupa satua Bali
sudah di ajarkan disekolah sesuai dengan
kurikulum yang berlaku sehingga siswa sudah memiliki kemampuan mengungkapkan
suatu wacana dan tidak perlu lagi mengadakan eksperimen..
3.3
Metode Pengumpulan Data
Suatu
cara yang digunakan untuk mendapatkan data-data dengan menggunakan metode
tertentu disebut metode pengumpulan data. Dalam rangka pengumpulan data
mengenai kemampuan menceritakan kembali satua
”I Belog Mantu” siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2010/2011 menggunakan tiga metode, yaitu (1) metode tes, (2) metode observasi,
(3) metode wawancara.
3.3.1 Metode Tes
Nurkancana
dan Sunartana (1981: 278) menyatakan bahwa tes adalah suatu cara untuk
mengadakan penilaian yang berbentuk tugas yang harus dikerjakan oleh siswa atau
sekelompok siswa sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku prestasi
siswa tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai anak-anak
lain atau nilai standar yang ditetapkan.
Metode tes yang
digunakan dalam penelitian ini
menggunakan tes tindakan. Dalam penelitian ini tes dilaksanakan dengan cara
menilai kemampuan siswa menceritakan kembali sebuah satua “I Belog Mantu” di depan kelas dengan kriteria penilaian meliputi: ucapan, tekanan, intonasi, dan kelacaran.
3.3.2
Metode Observasi
Menurut Subagyo (2006:63)
menyatakan observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja,
sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian
dilakukan pencatatan. Dalam penelitian ini dokumen yang dicatat adalah
buku-buku yang relevan dengan persoalan yang diteliti., seperti buku kumpulan satua Bali, aneka paribasa Bali, silabus dan
dokumen-dokumen lainnya yang dipandang menunjang kelancaran penelitian ini.
Narbuko (2005:70) menyatakan
observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan
mencatat gejala-gejala yang diselidiki. Selanjutnya Hadi (2000:151) menyatakan
observasi adalah secara sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi
dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk melakukan pengamatan secara
langsung tentang kemampuan siswa dalam menceritakan kembali satua ke depan kelas disertai dengan
teknik perekaman dengan menggunakan Handy Cam.
3.3.3
Metode Wawancara
Untuk memperoleh data tentang kesulitan-kesulitan yang dialami siswa
dilakukan dengan mengunakan pedoman
wawancara. Metode
wawancara adalah suatu cara untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari
seorang responden dengan bercakap-cakap langsung atau bertatap muka (Kuntjaraningrat,
1983: 124). Pendapat lain juga mengatakan, wawancara adalah suatu cara untuk
memperoleh data dengan jalan melakukan tanya jawab yang sistematis (Netra,
1974: 53).
Dapat disimpulkan,
wawancara adalah suatu metode untuk memperoleh data dengan cara wawancara
maupun tanya jawab antara si peneliti dengan yang diteliti. Metode wawancara
digunakan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas XI SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011
dalam menceritakan kembali satua
“I Belog Mantu”.
Pedoman wawan cara dapat
dilihat dalam lampiran setelah daftar pustaka.
3.4 Metode Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan perlu
diolah secara sistematis untuk memperoleh simpulan yang akurat. Metode
pengolahan data sangat erat kaitannya dengan jenis data yang dikumpulkan.
Secara teoretis ada dua metode analisis data yaitu metode deskritif dan metode
analisis. Metode deskriptif digunakan apabila data yang dikumpulkan berupa data
kualitatif, sedangkan metode analisis digunakan apabila data yang dikumpulkan
berupa data kuantitatif. Selanjutnya metode analisis dapat dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu analisis statistik dan dihitung dengan menggunakan rumus tertentu
untuk menarik kesimpulan.
Terkait dengan penelitian ini, data
yang di kumpulkan berupa angka tetapi tidak diformulasikan dengan rumus
matematika tertentu. Angka-angka yang diperoleh akan disistematiskan sehingga
memperoleh simpulan. Analisis data dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
statistik deskritif. Metode statistik deskritif yaitu pengolahan data yang
digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan abjek yang diteliti melalui
data sampel atau populasi sebagaimana adanya, tetapi tidak digunakan untuk
membuat kesimpulan yang lebihy luas (Sugiono, 1999: 13-14;21).
Adapun langkah-langkah pengolahan data
yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu dengan (1) mengubah sekor mentah
menjadi skor standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) mengelompokkan
prestasi siswa, (4) mencari skor rata-rata, dan 5) menarik kesimpulan.
3.4.1 Mengubah Skor Mentah Menjadi
Skor Standar
Dalam mengubah skor mentah
menjadi skor standar dipergunakan langkah langkah sebagai berikut.
1)
Menentukan Skor Maksimal
Ideal (SMI)
Skor maksimal ideal adalah jumlah skor tertinggi yang diperoleh
berdasarkan pedoman penilaian. Berdasarkan jumlah aspek yang dinilai dan
rentangannya, maka skor maksimal ideal dari menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”dalam penelitian
ini adalah 16.
Tabel: 3.3 Skor maksimal Ideal Kamampuan menceritakan kembali satua ”I
Belog Mantu”.
No. |
Aspek |
Skor |
1 |
2 |
3 |
1 2 3 4 |
Ucapan Tekanan Intonasi Kelancaran |
1-4 1-4 1-4 1-4 |
Jumlah SMI |
16 |
Keterangan : I.
1 = sangat kurang
2
= kurang
3
= cukup
4 = tepat
Tabel: 3.4 Diskriptor Penilaian Kamampuan Menceritakan
Kembali Satua ”I Belog Mantu”
No. |
Aspek yang dinilai |
Keterangan Nilai (1-4) |
|
Skor |
Diskriptor/Kreteria Penilaian |
||
1 |
2 |
3 |
4 |
1. |
Ucapan |
4 |
Memiliki kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta jelas
dalam artikulasi dan artikulator. |
|
|
3 |
Memiliki kualitas dan daya tahan suara, artikulsi dan artikulator jelas
tetapi tidak memiliki keindahan berirama. |
2 |
Memiliki kualitas dan daya tahan suaratetapi tidak jelas dalam artikulasi
dan artikulator |
||
1 |
Tidak memiliki kualitas dan daya tahan suara, keindahan berirama serta
tidak jelas dalam artikulasi dan artikulator |
||
2. |
Tekanan |
4. |
Memiliki tekanan dinamik, tekanan tempo, tekanan nada dan modulasi. |
3. |
Memiliki tekanan dinamik, tekanan tempo, tekanan nada tetapi tidak
memiliki modulasi |
||
2. |
Memiliki tekanan dinamaik dan tekanan tempo tetapi tidak memiliki tekanan
nada dan modulasi. |
||
1. |
Tidak memiliki tekanan dinamik tekanan tempo, tekanan nada dan modulasi |
||
3. |
Intonasi |
4 |
Memiliki irama suara dengan
ketepatan jeda yang baik dalam bercerita. |
3 |
Memiliki irama suara dengan
ketepatan jeda yang cukup baik dalam bercerita. |
||
2 |
Memiliki irama suara dengan
ketepatan jeda kurang baik
dalam bercerita. |
||
1 |
Tidak memiliki irama suara dengan ketepatan jeda dalam bercerita. |
||
4. |
Kelancaran |
4 |
Memiliki kualitas suara yang baik, tidak gugup/ragu-ragu dalam bercerita
serta diimbangi dengan ekspresi. |
|
wajah,pandangan mata dan gerakan tangan berdasarkan ucapan yang
dituangkan dalam cerita dengan penuh penghayatan ekspresi |
||
3 |
Memiliki kualitas suara yang cukup baik, tidak gugup/ragu-ragu dalam
bercerita serta diimbangi dengan ekspresi wajah dan pandangan mata
berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam cerita tetapi tidak dengan gerakan
tangan. |
||
2 |
Kurang memiliki kualitas suara atau ragu-ragu dalam bercerita serta
Kurang Memiliki ekspresi wajah berdasarkan ucapan yang dituangkan dalam
cerita tetapi tidak disertai gerakan tubuh. |
||
1 |
Kualitas suara sangat kurang atau gugup dan ragu-ragu dalam bercerita
Tidak memiliki ekspresi wajah, pandanga mata dan gerakan tangan berdasarkan
ucapan yang dituangkan dalam cerita. |
2). Membuat Pedoman Konversi
Pedoman konversi yang
digunakan dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar dengan menggunakan norma
absolut skala seratus disebut juga skala persentil. Untuk mengkonversikan skor
mentah menjadi skor standar dengan norma absolut skala seratus dipergunakan
rumus sebagai berikut.
P = X . 100
SMI
Keterangan:
P = Persentil
X = Skor yang dicapai
SMI = Skor maksimal Ideal
(Nurkancana 1992:99).
Berdasarkan rumus di atas, skor maksimal ideal
dapat dihitung sebagai berikut:
16
1). x 100 = 100
16
15
2). x 100 = 93
16
14
3). x 100 = 87
16
13
4). x 100 = 81
16
12
5). x 100 = 75
16
11
6). X 100 = 68
16
10
7). X 100 = 62
16
9
8). X 100 = 56
16
8
9). X 100 = 50
16
7
10). X 100 = 43
16
6
11). X
100 = 37
16
5
12). X
100 = 31
16
4
13). X 100 = 25
16
3
14). X 100 = 18
16
2
15). X 100 = 12
16
1
16). X 100 = 6
16
0
17). X 100 = 0
1
Tabel 3.5 Pedoman Konversi
Kemampuan Menceritakan Kembali Satua
”I Belog Mantu”.
Skor Mentah |
Skor Standar |
1 |
2 |
16 |
100 |
15 |
93 |
14 |
87 |
13 |
81 |
12 |
75 |
11 |
68 |
10 |
62 |
9 |
56 |
8 |
50 |
7 |
43 |
6 |
37 |
5 |
31 |
4 |
25 |
3 |
18 |
2 |
12 |
1 |
6 |
0 |
0 |
3.3.4
Menentukan Kreteria Predikat
Selanjutnya untuk mengetahui
tingkat kemampuan menceritakan kembali satua
”I Belog Mantu”, digunakan kriteria predikat yangs sering digunakan dalam
raport SMA sebagai berikut.
Tabel 3.6
Kreteria Predikat Kemampuan Menceritakan Kembali Satua ”I Belog Mantu”
Skor Standar |
Predikat |
1 |
2 |
90-100 |
A = Baik Sekali |
75-89 |
B = Baik |
60-74 |
C = Cukup |
0-59 |
D =
Kurang |
(Depdiknas 2006:3)
3.3.5
Mengelompokkan Prestasi Siswa
Setelah skor standar dan
predikat kemampuan siswa ditentukan, selanjutnya kemampuan siswa tersebut
dikelompokkan berdasarkan jumlah prosentasenya. Misalnya, berapa orang atau
berapa persen yang mendapat nilai 90, berapa orang yang mendapat nilai 80, dan
seterusnya.
3.3.6
Mencari Skor Rata-Rata
Untuk menghitung skor
rata-rata digunakan rumus sebagai berikut.
Me = Sxi
n
Keterangan:
Me = Mean ( rata-rata),
S = Apsilon (baca jumlah)
Xi = Nilai x ke-i sampai n,dan
n = jumlah individu (Sugiyono
1999:42-43)
3.3.7
Simpulan
Langkah terakhir yang
digunakan dalam pengolahan data adalah menarik kesimpulan. Kesimpulan dapat
diambil berdasarkan data yang terkumpul dan diolah melalui metode yang telah
ditentukan. Jadi kesimpulan tentang kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”, dan
kesulitan-kesulitan siswa dalam menceritakan satua ”I Belog Mantu”, dapat disimpulkan pada bab berikutnya.
BAB IV
PENYAJIAN
HASIL PENELITIAN
Bab ini mengulas tentang
kemampuan menceritakan kembali satua “I
Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2010/2011. Penyajian
hasil penelitian ini dibagi menjadi empat (4) bagian: (1) hasil pengumpulan
data, (2) hasil analisis data , (3) prosentase tingkat kemampuan siswa, (4)
skor rata-rata, dan (5) simpulan analisis data.
4.1 Hasil
Pengumpulan Data Tes
Pada bagian ini disajikan data hasil penelitian mengenai
kemampuan menceritakan kembali satua
”I Belog Mantu” oleh siswa kelas XI
SMA Negri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011. Setelah tes di laksanakan pada
tanggal 24 januari 2011 sampai selesai, maka di perolehlah data tes. Hasil
penyekoran data yang masih berupa skor mentah yang dicapai oleh siswa
selanjutnya dirangking. Skor siswa
yang paling tinggi ditaruh paling atas, di bawahnya adalah siswa yang mendapat
skor lebih rendah, demikian seterusnya
hingga skor paling rendah diletakkan paling bawah. Berdsarkan urain di atas,
skor dari masing-masing siswa akan diketahui. Adapun skor yang diperoleh
masing-masing siswa ditampilkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.1 Data Kemampuan Menceritakan Kembali Satua ”I Belog Mantu” Oleh Siswa Kelas XI SMA Negri 8 Denpasar Tahun
Pelajaran 2010/2011.
No. |
Nama |
Skor Mentah |
Jumlah |
|||
Ucapan |
Tekanan |
Intonasi |
Kelancaran |
|
||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
1 |
Amalika Gitamaharani Ni Made |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
2 |
Angkus Surawan, I Komang |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
3 |
Ari Saptarini, I Gusti Ayu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
4 |
Astri Pradnyandari, Ni Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
5 |
Astri Pradnyandari, Ni Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
6 |
Ayu Cindy Pramitha Putri, Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
7 |
Ayu Dwijayanti, Ni Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
8 |
Ayu Imelda Sasiandari, Ni Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
9 |
Ayu Pratiwi Maharani, Ni Made |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
10 |
Ayu Tri Martriani, Nyoman |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
11 |
Bintang Nararya Sena, I Gede |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
12 |
Cindy Arista, Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
13 |
Dalam Saputra Jagadhita, I Made |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
14 |
Dian Utami Jelantik, Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
15 |
Eka Dewi Kartika, Ni Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
16 |
Hendy Setiawan, I Gst. Ag. Ngr |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
17 |
Indriana Triastuti |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
18 |
Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A. |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
19 |
Krisna Masyuda |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
20 |
Mariadnyani, Ni wayan |
3 |
4 |
3 |
4 |
15 |
21 |
Mega Danu Ningrum |
3 |
4 |
4 |
4 |
15 |
22 |
Nanda
PradnyaDianti, Dewa Ayu Putu |
4 |
4 |
3 |
4 |
15 |
23 |
Nita Wiryandari, Ni
Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
24 |
Putri Ariyanti, Gst.
A |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
25 |
Rachma Ayu Santyka
Sasmitha |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
26 |
Rahayu
Kusuma Pratiwi, Ni Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
27 |
Reza Bregas Pangestu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
28 |
Roshida Qurota Aini
Islamiah |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
29 |
Sri Agustiani, Ni Luh |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
30 |
taharyanti, Gst. Ayu
Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
31 |
Wira
Adi Kesuma, I Kadek |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
32 |
Yogi Aditya |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
33 |
Yuli Dwi Ayu Kartika |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
34 |
Yulia Hartanti
Praptika, Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
35 |
Yunita Sari , Ni Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
36 |
Aditya Pratama, I Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
37 |
Agung Reza Pratama Putra, Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
38 |
Agus Nanda Yudistira |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
39 |
Agus Nova Andreana |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
40 |
Agus
Saputra Darma, I Wayan |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
41 |
Arya Putra Bharata, I
Made |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
42 |
Ayu Devi Dharmayanti,
Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
43 |
Ayu Satriani, Ni Made |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
44 |
Ayu Sri Wahyuni,
Ketut |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
45 |
Ayu
Suasti Dewi, Ni Made |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
46 |
Bella Kharisma |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
47 |
Bobie Chriesna Kurniawan |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
48 |
Dedy Gunawan, I Wayan |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
49 |
Desy
Rosita Dewi, Ni Made |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
50 |
Dewi Agustini, Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
51 |
Dewi Anjani, Ni Ketut |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
52 |
Dian Novita Mayasari |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
53 |
Dini Kuswandari,
Gusti Ayu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
54 |
Diptha Nugraha R, Ida Bagus |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
55 |
Ika Septia Utami |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
56 |
Indah Windayani, Ni Luh Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
57 |
Juliana Dewi, Ni
Komang |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
58 |
Kriesna Widiastuti,
I.A |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
59 |
Krisna Adi Astika, I
Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
60 |
Krisna Wijaya, I
Nyoman |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
61 |
Mada Aditya Kurniawan |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
62 |
Oka Sudiana, Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
63 |
Okta
Viantini, Ni Luh Putu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
64 |
Pradnya
Paramitha, I Gst. Ayu |
4 |
3 |
3 |
4 |
14 |
65 |
Pramanda Aninti, Ni Luh Gede |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
66 |
Purwa Darmaja, Wayan Gede |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
67 |
Putri Awandari, Luh
Putu |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
68 |
Ririn Purnami, Ni
Made |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
69 |
Trinasari Putri,
Komang |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
70 |
Wintara Wima Putra,
Putu |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
71 |
Windu Dwi Widanta,
I.B. Md |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
72 |
Wira
Adi Suputra, I Putu Gede |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
73 |
Wiwin arlina , NiLuh
putu |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
74 |
Wulandari, I.G.A |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
75 |
Yoga Artanaya, Putu |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
76 |
Yoga Sumantara, I
Wayan |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
77 |
Yudi Kesuma Putra, I
Wayan |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
78 |
Yudi Perwana, I Wayan |
4 |
3 |
3 |
3 |
13 |
79 |
Aditya
Y.P, I Putu Gede |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
80 |
Bayu Santika, Putu |
4 |
3 |
3 |
3 |
13 |
81 |
Deky Marcika, I
Nyoman |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
82 |
Dewi Suryantari, Ni
Putu |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
83 |
Dwi Cahya Kusuma,
Made |
4 |
3 |
3 |
3 |
13 |
84 |
Dwi Gunayasa, I Made |
4 |
3 |
3 |
3 |
13 |
85 |
Dwi Pranata, I Made |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
86 |
Gita Pramana Putra, I
Made |
3 |
3 |
3 |
4 |
13 |
87 |
Guna
Yulita, Ni Luh Ketut |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
88 |
Ida Bagus Weda
Karanata |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
89 |
Kurnia Philyanti |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
90 |
Manu Mahari, Luh |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
91 |
Meilani Wulandari, Ni
Putu |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
92 |
Metriyani, Ni Wayan |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
93 |
Mita Andharista, Ni
Putu |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
94 |
Mulya Iswara, Ida
Bagus |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
95 |
Nami Sawitri, Ni
Wayan |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
96 |
Nita Rianti, Kadek |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
97 |
Oka Cahyadi, I Made |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
98 |
Putra
Partha Nadi, I Made |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
99 |
Rama Udiyana, Ida
Bagus |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
100 |
Rumadi Putra, I Made |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
101 |
Sri Murtini, Komang |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
102 |
Sri Rahayu, Ni Luh |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
103 |
Widiantini, Ni Ketut |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
104 |
Widya Savitri, Putu |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
105 |
Wira
Diana Putra, I Made |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
106 |
Wiyasa, I Putu |
3 |
3 |
3 |
3 |
12 |
N= 106 |
∑xi = |
384 |
340 |
106 |
400 |
1444 |
Berdasarkan tabl 4.1 di atas, perolehan nilai siswa
adalah dua puluh dua siswa memperoleh
nilai 15, empat puluh dua siswa mendapat nilai 14, dua puluh dua siswa mendapat
nilai 13, dan dua puluh siswa mendapat nilai 12.
4.2
Analisis Data Tes
Analisis data dilakukan setelah
proses pengumpulan data selesai. Selanjutnya yang dilakukan yaitu (1)
mengkonversikan skor mentah menjadi skor standar, dan (2) menentukan kreteria
predikat.
4.2.1
Skor Mentah Dan Skor Standar Kemampuan
Siswa Dalam Menceritakan Kembali Satua “I
Belog Mantu”
Skor mentah yang diperoleh
oleh siswa sesuai dengan tabel 4.1 di atas belum dapat menggambarkan secara
jelas mengenai kemampuan siswa dalam menceritakan kembali satua “I Belog Mantu”,
atau belum dapat ditentukan predikat yang diperoleh siswa. Oleh karena itu skor
mentah yang diperoleh siswa harus diubah menjadi skor standar seperti yang
telah dijelaskan pada bab III. Untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar
dalam penelitian ini digunakan norma absolut skala seratus (persentil).
Berdasarkan pedoman konversi
yang telah dibuat pada bab III, maka dapatlah diketahui skor standar yang
dicapai oleh masing-masing siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2010/2011. Untuk lebih jelasnya, kemampuan siswa dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 4.2 Skor
Mentah Dan Skor Standar Yang Dicapai
Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011, Dalam
Menceritakan Kembali Satua
” I Belog Mantu”
No. |
Nama |
Skor Mentah |
Skor Standar |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
Amalika Gitamaharani Arya , Ni Made |
15 |
93 |
1 |
2 |
3 |
4 |
2 |
Angkus Surawan, I Komang |
15 |
93 |
3 |
Ari
Saptarini, I Gusti Ayu |
15 |
93 |
4 |
Astri Pradnyandari,
Ni Putu |
15 |
93 |
5 |
Astri Pradnyandari,
Ni Putu |
15 |
93 |
6 |
Ayu
Cindy Pramitha Putri, Putu |
15 |
93 |
7 |
Ayu Dwijayanti, Ni
Putu |
15 |
93 |
8 |
Ayu
Imelda Sasiandari, Ni Putu |
15 |
93 |
9 |
Ayu
Pratiwi Maharani, Ni Made |
15 |
93 |
10 |
Ayu Tri Martriani,
Nyoman |
15 |
93 |
11 |
Bintang
Nararya Sena, I Gede |
15 |
93 |
12 |
Cindy Arista, Putu |
15 |
93 |
13 |
Dalam
Saputra Jagadhita, I Made |
15 |
93 |
14 |
Dian Utami Jelantik,
Putu |
15 |
93 |
15 |
Eka
Dewi Kartika, Ni Putu |
15 |
93 |
16 |
Hendy Setiawan, I
Gst. Ag. Ngr |
15 |
93 |
17 |
Indriana Triastuti |
15 |
93 |
18 |
Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A. |
15 |
93 |
19 |
Krisna Masyuda |
15 |
93 |
20 |
Mariadnyani, Ni wayan |
15 |
93 |
21 |
Mega Danu Ningrum |
15 |
93 |
22 |
Nanda
Pradnya Dianti, Dewa Ayu Putu |
15 |
93 |
23 |
Nita Wiryandari, Ni
Putu |
14 |
87 |
24 |
Putri Ariyanti, Gst.
A |
14 |
87 |
25 |
Rachma Ayu Santyka
Sasmitha |
14 |
87 |
26 |
Rahayu
Kusuma Pratiwi, Ni Putu |
14 |
87 |
27 |
Reza Bregas Pangestu |
14 |
87 |
1 |
2 |
3 |
4 |
28 |
Roshida Qurota Aini
Islamiah |
14 |
87 |
29 |
Sri Agustiani, Ni Luh |
14 |
87 |
30 |
taharyanti, Gst. Ayu
Putu |
14 |
87 |
31 |
Wira
Adi Kesuma, I Kadek |
14 |
87 |
32 |
Yogi Aditya |
14 |
87 |
33 |
Yuli Dwi Ayu Kartika |
14 |
87 |
34 |
Yulia Hartanti Praptika,
Putu |
14 |
87 |
35 |
Yunita Sari , Ni Putu |
14 |
87 |
36 |
Aditya Pratama, I Putu |
14 |
87 |
37 |
Agung Reza Pratama Putra, Putu |
14 |
87 |
38 |
Agus Nanda Yudistira |
14 |
87 |
39 |
Agus Nova Andreana |
14 |
87 |
40 |
Agus
Saputra Darma, I Wayan |
14 |
87 |
41 |
Arya Putra Bharata, I
Made |
14 |
87 |
42 |
Ayu Devi Dharmayanti,
Putu |
14 |
87 |
43 |
Ayu Satriani, Ni Made |
14 |
87 |
44 |
Ayu Sri Wahyuni,
Ketut |
14 |
87 |
45 |
Ayu
Suasti Dewi, Ni Made |
14 |
87 |
46 |
Bella Kharisma |
14 |
87 |
47 |
Bobie Chriesna
Kurniawan |
14 |
87 |
48 |
Dedy Gunawan, I Wayan |
14 |
87 |
49 |
Desy
Rosita Dewi, Ni Made |
14 |
87 |
50 |
Dewi Agustini, Putu |
14 |
87 |
51 |
Dewi Anjani, Ni Ketut |
14 |
87 |
52 |
Dian Novita Mayasari |
14 |
87 |
53 |
Dini Kuswandari,
Gusti Ayu |
14 |
87 |
54 |
Diptha Nugraha R, Ida Bagus |
14 |
87 |
55 |
Ika Septia Utami |
14 |
87 |
1 |
2 |
3 |
4 |
56 |
Indah Windayani, Ni Luh Putu |
14 |
87 |
57 |
Juliana Dewi, Ni
Komang |
14 |
87 |
58 |
Kriesna Widiastuti,
I.A |
14 |
87 |
59 |
Krisna Adi Astika, I
Putu |
14 |
87 |
60 |
Krisna Wijaya, I
Nyoman |
14 |
87 |
61 |
Mada Aditya Kurniawan |
14 |
87 |
62 |
Oka Sudiana, Putu |
14 |
87 |
63 |
Okta
Viantini, Ni Luh Putu |
14 |
87 |
64 |
Pradnya
Paramitha, I Gst. Ayu |
14 |
87 |
65 |
Pramanda Aninti, Ni Luh Gede |
13 |
81 |
66 |
Purwa Darmaja, Wayan Gede |
13 |
81 |
67 |
Putri Awandari, Luh
Putu |
13 |
81 |
68 |
Ririn Purnami, Ni
Made |
13 |
81 |
69 |
Trinasari Putri,
Komang |
13 |
81 |
70 |
Wintara Wima Putra,
Putu |
13 |
81 |
71 |
Windu Dwi Widanta,
I.B. Md |
13 |
81 |
72 |
Wira
Adi Suputra, I Putu Gede |
13 |
81 |
73 |
Wiwin arlina , NiLuh
putu |
13 |
81 |
74 |
Wulandari, I.G.A |
13 |
81 |
75 |
Yoga Artanaya, Putu |
13 |
81 |
76 |
Yoga Sumantara, I
Wayan |
13 |
81 |
77 |
Yudi Kesuma Putra, I
Wayan |
13 |
81 |
78 |
Yudi Perwana, I Wayan |
13 |
81 |
79 |
Aditya
Y.P, I Putu Gede |
13 |
81 |
80 |
Bayu Santika, Putu |
13 |
81 |
81 |
Deky Marcika, I
Nyoman |
13 |
81 |
82 |
Dewi Suryantari, Ni
Putu |
13 |
81 |
83 |
Dwi Cahya Kusuma,
Made |
13 |
81 |
1 |
2 |
3 |
4 |
84 |
Dwi Gunayasa, I Made |
13 |
81 |
85 |
Dwi Pranata, I Made |
13 |
81 |
86 |
Gita Pramana Putra, I
Made |
13 |
81 |
87 |
Guna
Yulita, Ni Luh Ketut |
12 |
75 |
88 |
Ida Bagus Weda
Karanata |
12 |
75 |
89 |
Kurnia Philyanti |
12 |
75 |
90 |
Manu Mahari, Luh |
12 |
75 |
91 |
Meilani Wulandari, Ni
Putu |
12 |
75 |
92 |
Metriyani, Ni Wayan |
12 |
75 |
93 |
Mita Andharista, Ni
Putu |
12 |
75 |
94 |
Mulya Iswara, Ida
Bagus |
12 |
75 |
95 |
Nami Sawitri, Ni
Wayan |
12 |
75 |
96 |
Nita Rianti, Kadek |
12 |
75 |
97 |
Oka Cahyadi, I Made |
12 |
75 |
98 |
Putra
Partha Nadi, I Made |
12 |
75 |
99 |
Rama Udiyana, Ida
Bagus |
12 |
75 |
100 |
Rumadi Putra, I Made |
12 |
75 |
101 |
Sri Murtini, Komang |
12 |
75 |
102 |
Sri Rahayu, Ni Luh |
12 |
75 |
103 |
Widiantini, Ni Ketut |
12 |
75 |
104 |
Widya Savitri, Putu |
12 |
75 |
105 |
Wira
Diana Putra, I Made |
12 |
75 |
106 |
Wiyasa, I Putu |
12 |
75 |
N= 106 |
∑xi
= |
1.444 |
8982 |
4.2.2
Menentukan Kreteria Predikat
Data berupa skor mentah,
seperti yang disajikan dalam tabel 4.1 di atas, selanjutnya di olah untuk
memperoleh skor standar dan kategori predikatnya. Hal ini di olah sesuai dengan teknik pengolahan
data seperti pada bab III. Baerdasarkan langkah-langkah yang telah dilakukan di
atas hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Kreteria Predikat Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun
Pelajaran 2010/2011, Dalam Menceritakan Kembali Satua “I Belog Mantu”.
No. |
Nama Siswa |
Skor Standar |
Kreteria Predikat |
(1) |
(2) |
(3) |
(4) |
1 |
Amalika Gitamaharani Arya , Ni Made |
93 |
Baik Sekali |
2 |
Angkus Surawan, I Komang |
93 |
Baik Sekali |
3 |
Ari
Saptarini, I Gusti Ayu |
93 |
Baik Sekali |
4 |
Astri Pradnyandari,
Ni Putu |
93 |
Baik Sekali |
5 |
Astri Pradnyandari,
Ni Putu |
93 |
Baik Sekali |
6 |
Ayu
Cindy Pramitha Putri, Putu |
93 |
Baik Sekali |
7 |
Ayu Dwijayanti, Ni
Putu |
93 |
Baik Sekali |
8 |
Ayu
Imelda Sasiandari, Ni Putu |
93 |
Baik Sekali |
9 |
Ayu
Pratiwi Maharani, Ni Made |
93 |
Baik Sekali |
10 |
Ayu Tri Martriani,
Nyoman |
93 |
Baik Sekali |
11 |
Bintang
Nararya Sena, I Gede |
93 |
Baik Sekali |
12 |
Cindy Arista, Putu |
93 |
Baik Sekali |
13 |
Dalam
Saputra Jagadhita, I Made |
93 |
Baik Sekali |
14 |
Dian Utami Jelantik,
Putu |
93 |
Baik Sekali |
15 |
Eka
Dewi Kartika, Ni Putu |
93 |
Baik Sekali |
16 |
Hendy Setiawan, I
Gst. Ag. Ngr |
93 |
Baik Sekali |
1 |
2 |
3 |
4 |
17 |
Indriana Triastuti |
93 |
Baik Sekali |
18 |
Intan Sandrina Ratnasari, I.G.A. |
93 |
Baik Sekali |
19 |
Krisna Masyuda |
93 |
Baik Sekali |
20 |
Mariadnyani, Ni wayan |
93 |
Baik Sekali |
21 |
Mega Danu Ningrum |
93 |
Baik Sekali |
22 |
Nanda
Pradnya Dianti, Dewa Ayu Putu |
93 |
Baik Sekali |
23 |
Nita Wiryandari, Ni
Putu |
87 |
Baik |
24 |
Putri Ariyanti, Gst.
A |
87 |
Baik |
25 |
Rachma Ayu Santyka
Sasmitha |
87 |
Baik |
26 |
Rahayu
Kusuma Pratiwi, Ni Putu |
87 |
Baik |
27 |
Reza Bregas Pangestu |
87 |
Baiki |
28 |
Roshida Qurota Aini
Islamiah |
87 |
Baik |
29 |
Sri Agustiani, Ni Luh |
87 |
Baik |
30 |
taharyanti, Gst. Ayu
Putu |
87 |
Baik |
31 |
Wira
Adi Kesuma, I Kadek |
87 |
Baik |
32 |
Yogi Aditya |
87 |
Baik |
33 |
Yuli Dwi Ayu Kartika |
87 |
Baik |
34 |
Yulia Hartanti
Praptika, Putu |
87 |
Baik |
35 |
Yunita Sari , Ni Putu |
87 |
Baik |
36 |
Aditya Pratama, I Putu |
87 |
Baik |
37 |
Agung Reza Pratama Putra, Putu |
87 |
Baik |
38 |
Agus Nanda Yudistira |
87 |
Baik |
39 |
Agus Nova Andreana |
87 |
Baik |
40 |
Agus
Saputra Darma, I Wayan |
87 |
Baik |
41 |
Arya Putra Bharata, I
Made |
87 |
Baik |
42 |
Ayu Devi Dharmayanti,
Putu |
87 |
Baik |
43 |
Ayu Satriani, Ni Made |
87 |
Baik |
44 |
Ayu Sri Wahyuni,
Ketut |
87 |
Baik |
1 |
2 |
3 |
4 |
45 |
Ayu
Suasti Dewi, Ni Made |
87 |
Baik |
46 |
Bella Kharisma |
87 |
Baik |
47 |
Bobie Chriesna
Kurniawan |
87 |
Baik |
48 |
Dedy Gunawan, I Wayan |
87 |
Baik |
49 |
Desy
Rosita Dewi, Ni Made |
87 |
Baik |
50 |
Dewi Agustini, Putu |
87 |
Baik |
51 |
Dewi Anjani, Ni Ketut |
87 |
Baik |
52 |
Dian Novita Mayasari |
87 |
Baik |
53 |
Dini Kuswandari,
Gusti Ayu |
87 |
Baik |
54 |
Diptha Nugraha R, Ida Bagus |
87 |
Baik |
55 |
Ika Septia Utami |
87 |
Baik |
56 |
Indah Windayani, Ni Luh Putu |
87 |
Baik |
57 |
Juliana Dewi, Ni
Komang |
87 |
Baik |
58 |
Kriesna Widiastuti,
I.A |
87 |
Baik |
59 |
Krisna Adi Astika, I
Putu |
87 |
Baik |
60 |
Krisna Wijaya, I
Nyoman |
87 |
Baik |
61 |
Mada Aditya Kurniawan |
87 |
Baik |
62 |
Oka Sudiana, Putu |
87 |
Baik |
63 |
Okta
Viantini, Ni Luh Putu |
87 |
Baik |
64 |
Pradnya
Paramitha, I Gst. Ayu |
87 |
Baik |
65 |
Pramanda Aninti, Ni Luh Gede |
81 |
Baik |
66 |
Purwa Darmaja, Wayan Gede |
81 |
Baik |
67 |
Putri Awandari, Luh
Putu |
81 |
Baik |
68 |
Ririn Purnami, Ni
Made |
81 |
Baik |
69 |
Trinasari Putri,
Komang |
81 |
Baik |
70 |
Wintara Wima Putra,
Putu |
81 |
Baik |
71 |
Windu Dwi Widanta,
I.B. Md |
81 |
Baik |
72 |
Wira
Adi Suputra, I Putu Gede |
81 |
Baik |
73 |
Wiwin arlina , NiLuh
putu |
81 |
Baik |
1 |
2 |
3 |
4 |
74 |
Wulandari, I.G.A |
81 |
Baik |
75 |
Yoga Artanaya, Putu |
81 |
Baik |
76 |
Yoga Sumantara, I
Wayan |
81 |
Baik |
77 |
Yudi Kesuma Putra, I
Wayan |
81 |
Baik |
78 |
Yudi Perwana, I Wayan |
81 |
Baik |
79 |
Aditya
Y.P, I Putu Gede |
81 |
Baik |
80 |
Bayu Santika, Putu |
81 |
Baik |
81 |
Deky Marcika, I
Nyoman |
81 |
Baik |
82 |
Dewi Suryantari, Ni
Putu |
81 |
Baik |
83 |
Dwi Cahya Kusuma,
Made |
81 |
Baik |
84 |
Dwi Gunayasa, I Made |
81 |
Baik |
85 |
Dwi Pranata, I Made |
81 |
Baik |
86 |
Gita Pramana Putra, I
Made |
81 |
Baik |
87 |
Guna
Yulita, Ni Luh Ketut |
75 |
Baik |
88 |
Ida Bagus Weda
Karanata |
75 |
Baik |
89 |
Kurnia Philyanti |
75 |
Baik |
90 |
Manu Mahari, Luh |
75 |
Baik |
91 |
Meilani Wulandari, Ni
Putu |
75 |
Baik |
92 |
Metriyani, Ni Wayan |
75 |
Baik |
93 |
Mita Andharista, Ni
Putu |
75 |
Baik |
94 |
Mulya Iswara, Ida
Bagus |
75 |
Baik |
95 |
Nami Sawitri, Ni
Wayan |
75 |
Baik |
96 |
Nita Rianti, Kadek |
75 |
Baik |
97 |
Oka Cahyadi, I Made |
75 |
Baik |
98 |
Putra
Partha Nadi, I Made |
75 |
Baik |
99 |
Rama Udiyana, Ida
Bagus |
75 |
Baik |
100 |
Rumadi Putra, I Made |
75 |
Baik |
101 |
Sri Murtini, Komang |
75 |
Baik |
102 |
Sri Rahayu, Ni Luh |
75 |
Baik |
1 |
2 |
3 |
4 |
103 |
Widiantini, Ni Ketut |
75 |
Baik |
104 |
Widya Savitri, Putu |
75 |
Baik |
105 |
Wira
Diana Putra, I Made |
75 |
Baik |
106 |
Wiyasa, I Putu |
75 |
Baik |
4.3 Prosentase
Tingkat Kemampuan Siswa
Berdasarkan hasil penilain
terhadap siswa yang di pakai subjek penelitian sebanyak 106 siswa, maka
persentasenya dapat dihitung sebagai berikut:
- Siswa yang
memperoleh skor 93 yang dikatagorikan baik sekali berjumlah 22 siswa,
persentasenya dapat dihitung seperti di bawah.
22 x 100
% = 21%
106
2. Siswa
yang memperoleh skor 87 yang dikategorikan baik berjumlah 42 orang,
presentasenya dapat dihitung seperti di bawah.
42
x 100%
= 39%
106
3. Siswa
yang memperoleh skor 81 yang
dikategorikan baik berjumlah 22 orang, presentasenya dapat dihitung seperti di
bawah.
22 x
100% = 21%
106
4. Siswa yang memperoleh skor 75 yang
dikategorikan baik berjumlah 20 orang, persentasenya dapat dihitung seperti di
bawah.
20 x
100% = 19%
106
Untuk lebih jelasnya
perhitungan persentase di atas dapat
dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.
Tabel 4.4 Persentase Kemampuan Menceritakan Kembali Satua “I
Belog Mantu”oleh Siswa
Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun
Pelajaran 2010/2011
No. |
Skor Standar |
Kriteria |
Jumlah Siswa |
Persentase |
Keterangan |
(1) |
(2) |
(3) |
(4) |
(5) |
(6) |
1. |
93 |
Baik sekali |
22 |
21% |
Tuntas |
2. |
87 |
Baik |
42 |
39% |
Tuntas |
3. |
81 |
Baik |
22 |
21% |
Tuntas |
4. |
75 |
Baik |
20 |
19% |
Tuntas |
|
Jumlah |
|
106 |
100% |
|
Berdasarkan skor yang
diperoleh oleh siswa sesuai tabel 4.4 di atas, bila dikaitkan dengan KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimum) Siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011 yakni sebesar 75,
maka secara keseluruhan dapat dikatakan tuntas. Hal ini dapat dibuktikan dari
hasil tes yang telah dilakukan tidak ada siswa yang memperoleh skor di bawah
75.
4.4
Skor Rata-Rata
Untuk mencari skor
rata-rata Kemampuan Menceritakan Kembali Satua ”I Belog Mantu”oleh Siswa Kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011 digunakan rumus
sebagai berikut.
Me
= ∑xi
n
Keterangan:
Me
= Mean
∑ = Apsilon
(baca jumlah)
Xi = Nilai X Ke -i sampai n
n = Jumlah individu
(Sugiyono,
1999:42-43)
Skor
yang diperoleh oleh siswa berdasarkan tabel 4.2 di atas, diketahui bahwa ∑Xi =
1444, dan n = 106 orang. Dengan menggunakan rumus di atas skor rata-rata dapat
dihitung sebagai berikut.
Me
= 1444
106
= 13,62
= 14 (dibulatkan)
Berdasarkan perhitungan di atas skor
rata-rata yang diperoleh adalah 13,62 dibulatkan menjadi 14 dengan skor
standarnya 87. Bila dikaitkan dengan kriteria predikat skor 87 berada pada
kategori baik. Sesuai dengan itu dapat disimpulkan bahwa kemampuan menceritakan
kembali satua ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 adalah dalam predikat baik, dengan skor
rata-rata 87.
4.5
Simpulan Analisis Data Tes
Berdasarkan
Hasil pengumpulan data kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” siswa kelas XI SMA Negri 8 Denpasar tahun pelajaran
2010/2011, dapat diketahui bahwa skor aspek ucapan adalah 3,7 dengan skor
terttinggi 4, skor rata-rata yang diperoleh dari aspek tekanan adalah 3,20
dengan skor tertingginya 4, skor rata-rata yang diperoleh dari aspek intonasi
adalah 3 dengan skor tertingginya 4, dan skor rata-rata dari aspek kelancaran
adalah 3,8. Berdasarkan hasil ini dapat
dilihat bahwa aspek intonasi memang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi
diantara ketiga aspek lainnya, dengan
adanya perbedaan-perbedaan poin dari pencapain skor maksimal aspek intonasi.
4.6
Data Hasil Wawancara
Data yang diperoleh melalui metode
wawancara juga meryupakan data pendukung untuk melengkapi informasi tentang
kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu”. Wawancara dilakukan
terhadap 8 orang siswa dengan rincian dua orang siswa yang mendapat nilai baik
sekali, dan enam orang siswa yang mendapat nilai baik. Adapun nama-nama siswa
siswanya yaitu:
1). Ni Made
Amalika Gitamaharani.
2). I Gede Bintang
Nararya Sena.
3). I Kadek Wira
Adi Kusuma
4). Ni Putu Nita
Wiryandari.
5). I.B.Made Windu
Dwi Widanta.
6).Ni Putu Dewi
Suryantari.
7). I Komang
Srimurtini.
8). Kurnia
Philyanti.
Hasil wawancara dari 8 siswa akan di paparkan sebagai berikut.
1). Nama subjek : Ni Made Amalika Gitamaharani.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Dalam
pemberian intonasi, karena saya belum begitu paham dengan irama suara dengan
ketepatan jeda.
2. Nama subjek : I Gede Bintang Nararya Sena.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan
apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Kesulitan
dalam pemberian intonasi pada saat menceritakan satua ” I Belog Mantu”sebab
sulit untuk memahami irama suara dengan ketepatan jeda.
3. Nama subjek : I Kadek Wira Adi Kusuma.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan
apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Kesulitan
dalam pemberian intonasi karena bingung membedakan tekanan dengan intonasi pada saat
menceritakan satua ” I Belog Mantu”.
4. Nama subjek : Ni Putu Nita Wiryandari.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan
apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Kesulitan
dalam pemberian intonasi, karena belum mengerti dengan jelas tentang perbedaan
tekanan dan intonasi.
5. Nama subjek : I.B.Made Windu Dwi Widanta.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan
apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Kesulitan
dalam pengucapan, karena belum pasif berbahasa Bali dan belum paham betul
dengan jelas tentang perbedaan tekanan dan intonasi.
6. Nama subjek : Ni Putu Dewi Suryantari.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan
apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Kesulitan dalam pemberian intonasi,
karena masiih bingung tentang pemahaman intonasi dengan pengucapan, dan
tekanan.
7. Nama subjek : I Komang Srimurtini.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan
apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Kesulitan
dalam menuangkan cerita dengan bahasa sendiri karena kurang pemahaman kosa kata
bahasa Bali.
8. Nama subjek :
Kurnia Philyanti.
Pertayaan : ”Dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” kesulitan
apa yang anda temukan? Jelaskan!
Jawaban : Kesulitan
dalam menuangkan cerita dengan bahasa sendiri karena tidak sering menggunakan
bahasa Bali dalam keseharian.
4.7 Simpulan Analisis Data Hasil Wawancara
Berdasarkan data hasil wawancara dari delapan
siswa tersebut, mereka menyatakan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami dalam
menceritakan kembali satua ”I Belog
Mantu” adalah dalam memberikan intonasi, memberikan tekanan, dan penuangan
ucapan, kurang memahami kosa kata bahasa Bali dan kurangnya penggunaan bahasa Bali.
BAB V
PENUTUP
Bab
ini merupakan bagian akhir dari keseluruhan laporan hasil penelitian. Dalam bab
ini dikemukakan dua pokok bahasan, yaitu: (1) simpulan, dan (2) saran-saran
tentang hasil penelitian kemampuan menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” oleh siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011. Kedua hal tersebut akan diuraikan sebagai
berikut.
5.1 Simpulan
Berdasarkan
fakta-fakta yang ditenukan di lapangan dan sesuai dengan hasil analisis data pada bab IV dapat
disimpulkan bahwa berpredikat baik.
- Kemampuan
menceritakan kembali satua ”I Belog
Mantu” siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011
tergolong berpredikat baik. Hal ini dibuktikan dari nilai rata-rata
skor standar yang diperoleh siswa adalah 87.
- Secara
keseluruhan Siswa Kelas XI SMA Negeri 8
Denpasar Tahun Pelajaran 2010/2011 ternyata berhasil (tuntas) dalam
menceritakan kembali satua ”I Belog
Mantu”. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian ternyata tidak ada
siswa yang memperoleh nilai di bawah 75, sesuai dengan KKM yang ditentukan
yakni sebesar 75.
- Kesulitan-kesulitan
yang dialami siswa SMA Negeri 8 Denpasar dalam menceritakan kembali satua ”I Belog Mantu” yaitu
terletak pada aspek intonasi. Hal ini didukung oleh data hasil wawancara
dan malalui analisis data tes yang merupakan hasil dari pengumpulan data tes.
5.2
Saran-Saran
Berdasarkan simpulan yang
dikemukakan di atas, berikut ini disampaikan beberapa saran untuk meningkatkan
kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar, dalam menceritakan kembali
suatu satua. Adapun saran-saran
tersebut adalah sebagai berikut.
- Mengingat
hasil penelitian yang telah dilakukan tergolong berpredikat baik dalam menceritakan kembali satua berbahasa Bali, siswa Kelas XI SMA Negeri 8 Denpasar, diharapkan lebih meningkatkan
prestasinya untuk mengangkat citra lembaga (sekolah) dalam dunia
pendidikan demi pengembangan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
- Guru bidang
studi bahasa daerah Bali harus lebih mengintensifkan pembelajaran
menceritakan kembali suatu satua berbahasa Bali , sehingga nantinya siswa
terbiasa dalam bercerita menggunakan bahasa Bali dan juga untuk
melestarikan cerita-cerita khas Daearah Bali.
- Guru bidang
studi bahasa daerah Bali harus lebih mengintensifkan pembelajaran
menggunakan bahasa Bali serta melatih siswa supaya bisa dan biasa menggunakan bahasa Bali yang baik dan
benar.
- Karena subjek dan objek yang diteliti masih terbatas, maka disarankan kepada mereka yang tertarik meneliti masalah ini agar mengadakan penelitian ulang dengan subjek dan objek yang lebih luas lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Antara, I Gusti Putu. 1981. Teori
Sastra materi Pengetahuan Pengajaran Sastra.
Indonesia. Singaraja:
Fakultas Keguruan Universitas Udayana.
Arikunto, Suharsimi. 1983.
Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
Aminudin. 1987. Apresiasi Sastra.
Jakarta Gramedia
Baribin. 1990. Memahami Karya Sastra
Fiksi. Surakarta: Widya Duta.
Barerett, Harold. 1996. Retorika Seni
Tutur dan Bertutur. Bandung: Cv Alfabeta.
Depdikbud. 1975. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. 2005. Kesusastraan Bali. Depdikbud Propinsi Bali.
Effendi. 2000. Dalam Aminuddin “Apresiasi
Kesusastraan”. Jakarta Gramedia
Esten, Mursal. 1984. Pengantar
Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah
sastra. Yogyakarta: Muhammadiyah Iniversity Press.
Gunarta, I Wayan. 2007. “Evaluasi Hasil Belajar”. Denpasar: Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni IKIP PGRI Bali.
Halim. 1981. Kajian Budaya
Daerah. Jakarta Bumi Aksara.
Homby dalam Sayuti (2000:6) Leksi Swadari”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Panji
Semirang Siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar Tahun Pelajaran 2008/2009”.
Keraf, Gorys. 1991. Linguistik
Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kerf, Gorys. 1984. Kompesisi Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah
Natawijaya.1979. Apresiasi
Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Oka, I Gusti Ngurah. 1976. MOdul Pembelajaran
Retorika”. Denpasar: FDHA
IHDN.
Luxemburg, dkk. 1986. Pengantar Ilmu sastra. Semarang:Gramedia.Hal:9
Swadari, Leksi. 2009. ”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Panji
Semirang Siswa Kelas V SD No.5 Peguyangan Denpasar”. Skripsi untuk meraih
gelar serjana Pendidikan, Denpasar, IKIP PGRI Bali.
Sukada. 1987. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Malang.
Sumardjo, Jakob. 1983. Apresiasi Sastra. Jkarta: Gramedia.
Suroto. 1993. Peristiwa Sastra Indonesia. Surakarta:
Widya Duta.
Nasir, Muhamad, 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Netra, Ida Bagus. 1997. ”Penuntun Menyusun Skripsi”. Singaraja:
Biro Penerbitan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Udayana.
Nataijaya. 1980. Kesusastraan Indonesia. Surabaya: Usaha
Nasional.
Rindjin, Ketut, 1980. ”Petunjuk Menyusun Karangan Ilmiah”. FKIP Unud. Singaraja.
Suandi, Gunartha. 2006. ”Buku
Pelajaran Bahasa Bali Puspa Sari 2 Untuk Kelas II SMP”.
Sastrowardoyo, Subagyo. Kesusastraan Indonesia. Bandung:
Nurcahaya.
Suwondo, Tirto. “Analisis Struktural Saslah satu Model
Pendekatan dalam Penelitian sastra” , dalam Metode Penelitian sastra, dalam Jabrohim (ed). Yogyakarta:
Hanindita Graha Widia.
Sugita, I Wayan. 2009. ”RETORIKA (Tutur dan Bertutur)”.Denpasar:
FDHA IHDN.
Sundariti. 2009. ”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Rijal
Siswa Kelas VII Madrasah Tsanawiah (MD) Miftatul Ulum Denpasar”. Skripsi
untuk meraih gelar serjana Pendidikan, Denpasar, IKIP PGRI Bali.
Sudjiman(1981:2) dalam skripsi Swadari”Kemampuan Menceritakan Kembali Dongeng Panji Semirang Siswa Kelas V SD
No.5 Peguyangan Denpasar”. Skripsi untuk meraih gelar serjana Pendidikan,
Denpasar, IKIP PGRI Bali.
Sugiyono.1999. Statistik Untuk Penelitian. Bandung:
Bina Karya.
Suroto. 1993. Kajian Sastra Fiksi. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tarigan, Henry Guntur.
1971. Prinsip-prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.
The Liang gie (1980:27)
dalam skripsi Sundariti ”Kemampuan
Menceritakan Kembali Dongeng ”Rijal” Siswa kelas VII Madrasah Tsanawiah (MD)
Miftatul Ulum Denpasar Tahun Pelajaran 2008/2009”.
Tushi Eddy. 1991. Mengenal Sastra Bali Modern. Jakarta:
Balai Pustaka.
Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Solo: Universitas
Sebelas Maret Press. Hal: 56 – 60.
Wisnu, I Wayan.2007. ”Sejarah Kajian Bahasa Bali”. Denpasar: IKIP PGRI Bali.
Yudiantara, I Made Dkk.
1996. Sosok dan Cara Kerja Penelitian Kumulatif. Bandung : BKFI
0 Komentar